Apa yang anda butuhkan sobat

Sunday, March 10, 2019

PSIKOLOGI INDONESIA “KOGNISI DAN BUDAYA ”

PSIKOLOGI INDONESIA
“KOGNISI DAN BUDAYA ”
/storage/emulated/0/.polaris_temp/image1.png

'
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2016






§  Landasan Teori
PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam budaya-budaya tersebut. Sedangkan pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Menurut Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
Sedangkan Ruang Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam memahami tentang cabang ilmu psikologi lintas budaya yang dipelejari
1.      Pewarisan dan Perkembangan Budaya
2.      Budaya dan Diri (Self)
3.      Persepsi
4.      Kognisi & Perkembangannya
5.      Psikologi Perkembangan
6.      Bahasa
7.      Emosi
8.      Psikologi Abnormal
9.      Psikologi Sosial

Ø  KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu :
o   kategorisasi (pengelompokkan)
o   Memori (ingatan) dan
o   Pemecahan masalah (problem solving).
Kognisi dan Budaya adalah daerah penelitian lintas-budaya yang memiliki sejarah kontroversi yang kuat. Perbedaan antara kelompok budaya dalam tingkat rata-rata kinerja pada tes kognitif telah ditafsirkan dengan cara yang berbeda secara dramatis. Ada penulis yang melihat perbedaan tersebut sebagai refleksi lebih atau kurang langsung variasi dalam kompetensi bawaan. Pada tingkat kelompok interpretasi tersebut cenderung untuk memohon gagasan "ras", perbedaan kinerja yang dinilai oleh baterai intelijen (Yaitu, perbedaan IQ) dianggap berasal dari "ras" perbedaan bakat kognitif. Namun, sudut pandang yang lebih umum bahwa proses kognitif yang tertanam dalam budaya. Kelompok budaya memiliki pola kemampuan yang berbeda, berakar pada kebutuhan ekologi serta pola sosial budaya. Dari perspektif ini perbedaan lintas-budaya dalam organisasi kegiatan kognitif, dan kecerdasan maka kualitatif berbeda, diantisipasi. Pertanyaan tentang bagaimana perbedaan besar dalam kecerdasan yang bahkan tidak masuk akal lagi, setelah diterima bahwa kognisi adalah budaya khusus domain fungsi psikologis.

Ø  Hubungan Budaya dengan Kognisi
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Perilaku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan. Ada suatu benang merah antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan dunianya (lingkungan). Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi pola pikir dan kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di inginkan akan terjadi secara terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.

§  Kognitif Dalam Lintas Budaya
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan ( AGHT ) dari lingkungan alam dan sosialnya.  
Ada berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya, antara lain:
o   Kecerdasan Umum
Mc. Shane dan Berry memiliki suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemampuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan meraka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, kondisi psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.
o   Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)
Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa "adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas diberikan pada seseorang". Dalam teori selanjutnya (dalam bahasan ini) piaget menjelaskan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif :
ü  Faktor biologis : berada pada sistem saraf.
ü  Faktor keseimbangan : berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan
ü  Faktor social :
ü  Faktor perpindahan budaya : termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan lembaga.
o   Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek "bagaimana" dari pada aspek "seberapa banyak" (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya.  Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
o   Contextualized cognition (pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu metodologi dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition Untuk memperkuat pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tinjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual ( contextualization ). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.

§   Pengaruh kognitif terhadap lintas budaya antara lain:
o   Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control . Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain atau lingkungan.
o   Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu. Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari orang lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam diri.
o   Kolektifitas
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos . Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain. Karenanya, diri ( self ) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya. Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal. Dapat dilihat bahwa diri ( self ) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
o   Persepsi diri
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan atau sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
o   Sosial explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Akibatnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
o   Motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan energi bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam penelitian psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland . Dalam teori motivasi Maslow , manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland , manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa. Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial atau interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
o   Peningkatan diri ( self enhancement )
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri ( self esteem ) ataupun kepuasan diri ( self satisfiaction ). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan membuat ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.

Ø  Budaya, Kategorisasi dan Pembentukan Konsep
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar  persamaan dan perbedaan karakter dari obyek – obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam – macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak – anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan. Seperti contoh kertas tadi, beberapa konsep psikologi juga berlangsung universal dalam kategorisasi. Contohnya, adalah kesepakatan dalam semua budaya akan masalah kategorisasi warna – warna apa yang digolongkan warna – warna apa yang digolongkan warna primer dan warna sekunder. Semua budaya tanpa melihat apakah budaya tersebut memiliki kosakata untuk berpuluh variasi warna ataupun hanya dua kosakata seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya memiliki kosakata warna  gelap dan warna terang – ternyata tetap mampu melakukan penggolongan warna – warna dan diminta untuk menunjukkan kembali ternyata bias. Namun kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan adalah warna sekunder (campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna es (warna putih bercampur warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi individu yang tidak hidup di lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang ditunjukkan adalah warna sekunder dari putih. Orang dengan latar budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk – bentuk dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Hal ini berbeda ketika kategorisasi dilakukan terhadap bentuk – bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna, dan ekspresi muka (Berry, 1999). Namun demikian, beberapa penelitian juga telah membuktikan bagaimana budaya member pengaruh pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang dibuktikan pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang disebut kursi tampaknya semua budaya memiliki kesepakatan, namun terbuat dari apa yang biasa disebut kursi itu dan bagaimanabentuk kursi itu tampaknya perbedaan budaya member pengaruh di sini. Pada beberapa budaya, kursi umumnya terbuat dari bamboo, budaya yang lain mungkin kursi tersebut dari besi. Namun demikian , kursi panjang dari bamboo yang di Jawa disebut lincak mungkin saja tidak dikategorikan oleh budaya lain sebagai kursi tetapi sebagai bentuk lain dari tempat tidur. Percobaan menarik dilakukan oleh Bruner dan Grenfield (1966), dalam Matsumoto, (1966) yang mendukung hipotesa adanya pengaruh budaya dalam proses kategorisasi oleh kognititif manusia. Pada para responden ditunjukkan beberapa gambar binatang dan beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi terhadap gambar – gambar tersebut atas dasar perbedaan warna. Hal ini menjadikan kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada sesuatu yang lebih dari kesedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas yang mempengaruhi sesuatu yang lebih dari sekedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas budaya tersebut. Sejauh ini perbedaan di atas diasumsikan terhadi sebagai pengaruh tingkatan pendidikan Evans dan Segall (1969, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian di Uganda terhadap anak dan orang dewasa penduduk setempat. Beberapa diantara responden anak maupun dewasa memiliki pendidikan yang cukup baik sedangkan yang lain tidak mengenyam pendidikan. Hasilnya ditemukan bahwa tidak ada perbedaan, sebagaimana percobaan Greenfield, antara responden dewasa yang tidak memperoleh pendidikan dengan responden anak – anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Sebaliknya ada perbedaan dasar kategorisasi antara responden dewasa yang memperoleh pendidikan dengan anak – anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak – anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak – anak melakukan kategorisasi atas dasar  yang lebih kompleks.

§  Perbedaan Budaya dalam Memori
Memori sendiri adalah sebuah proses pengelolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding), penyimpangan (strore), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasar jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggil kembali (Feldman, 1999). Masalah memori ini menjadi menantang ketika dikaitkan dengan perbedaan budaya. Apakah budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan, cara, serta apa yang dimemori? Termasuk budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan memori yang lebih baik daripada masyarakat yang sudah memiliki budaya baca tulis (literate) karena mereka terbiasa harus mengingat segala informasi yang ingin mereka ingat tanpa menuliskannya ataukah sebaliknya? Benarkah masyarakat yang sudah memiliki budaya tulis lebih lemah memorinya karena terbiasa menggunakan bantuan catatan dalam melakukan pengingatan?
Ross dan Millison (1970, dalam Matsumoto, 1996) menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingat. Mereka mendapatkan kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya yang membandingkan daya ingat pelajar Amerika dengan menemukan bahwa secara umum remaja Ghania mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Namun Cole (1971, dalam Matsumoto, 1996) menemukan bahwa sekalipun masyarakat non-literate mengingat isi cerita lebih baik namun mereka memiliki kemampuan yang lebih lemah dalam mengingat daftar kata. Cole selanjutnya membangun asumsi bahwa mengingat informasi – informasi yang saling tidak terkait merupakan hal yang sulit bagi individu yang tidak mendapat pendidikan dan sebaliknya tidak bagi yang pernah mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di sekolah murid terbiasa untuk mengingat huruf –huruf, berbadai macam data ataupun table, rumus – rumus dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol – simbol abstrak (tidak memiliki makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya gabungan huruf – huruf hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang berpendidikan dengan kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ternyata sangat mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang mendapat pendidikan mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya dengan kelompok responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden Arfika yang tidak pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah. Salah satu aspek memori yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah bagian pertama yang kit abaca(primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect) dari daftar kata yang harus kita ingat. Menariknya, Cole dan Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) menemukan tidak adanya hubungan anatara serial position dengan kemungkinan apa yang diingat dari penelitiannya pada masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.
Wagner (1980, dalam matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada pengulangan dan strategi memori ini berhubungan dengan pendidikan. Wagner membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dengan yang tidak pernah sekolah dan menemukan bahwa primacy effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak – anak yang mendapat pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses memoti atas dua macam, yaitu hardware atau kemampuan dasar dari memori (the basic limitation of memory) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap kemampuan memori pada anak (lihat Bab Vi), dan Software atau bahasa pemrograman – pemrograman bagian kita mengingat sesuatu kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemrograman inilah peran pendidikan dan budaya berpengaruh.

§  Budaya dan Problem Solving
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative – alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kearah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat tekait dengan factor pendidikan dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun para psikolog telah mencoba memisahkah proses problem solving dan budaya dengan meminta individu – individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang tidak familiar dalam kehidupan sehari – hari mereka.
Salah satu penelitian yang mencoba memahami perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah yang dilakukan Cole (1971). Ia mengambil subjek orang – orang dari Amerika dan Liberia. Dalam penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki beberapa banyak tombol, panel, dan lubang (stot). Untuk dapat membuka piranti tersebut dan mendapat hadiah yang ada di dalamnya, para subyek harus melakukan penggabungan dua prosedur, yang pertama yaitu menekan tombol yang tepat untuk melepas sebuah kelereng dan kedua adalah memasukkan kelereng ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbuka sehingga pirantipun terbuka. Subyek anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun ditemukan tidak mampu memecahkan masalah ini dengan mudah. Namun problem solving ini dengan sangat mudah. Sebaliknya hampir keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan latar belakang pendidikan, tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan cara gan langkah yang tepat membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini adalah orang – orang Amerika memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik dibandingkan orang Liberia utamanya dalam berpikir reasoning. Penelitian ini mendapat kritik tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika mampu mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam kehidupan sehari – hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin – mesin tersebut, seperti: remote control, computer, mesin cuci dsb, sedangkan orang – orang Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan piranti semacam itu dalam kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan memberik keuntungan bagi orang Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi subjek Liberia.
Cole dan rekan – rekannya selanjutnya mengulang percobaan dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah kotak terkunci beserta kunci – kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias budaya karena orang – orang Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila dibandingkan dengan mesin beserta tombol – tombolnya. Pemecahan masalah tetap dirancang dengan kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak – kotak kecil yang berisi kunci yang tepat dengan kunci – kunci mana yang tepat untuk membuka lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda dengan percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama atau dengan kata lain dengan sama mudahnya. Kesuksesan percobaan Cole ini masih dipertanyakan, percobaan di atas meneliti kemampuan berpikir logis atau mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki terkait dengan kotak – kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini Cole kembali mengadakan percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan percobaan pertama dan kedua. Subyek diminta membuka kotak dengan kunci – kunci yang kunci – kunci tersebut harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka piranti tersebut subyek harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng ke dalam percobaan pertama. Subyek – subyek Liberia mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diajukan. Cole selanjutnya menarik kesimpulan baru bahwa kemampuan orang Liberal untuk berpikir logis guna memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks. Ketika masalah yang disajikan menggunakan material dan konsep yang sudah mereka kenal, orang – orang Liberia berpikir logis sama baiknya dengan orang – orang Amerika. Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak mengalami kesulitan dari mana memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia memiliki kemampuan problem solving yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya, orang – orang Amerika akan mengalami kesulitan ketika masalah yang diajukan juga kurang mereka kenal namun sangat dekat dengan orang – orang Liberia, misalnya: menelusuri jejak binatang dengan menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya. Tipe permasalahan lain yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan budaya adalah kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka permen, Siti masih kanak – kanak, apakah Siti menyukai permen?). dalam penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup berpindah – pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan berpikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata – rata kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang benar. Dimana tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat pendidikan. Beberapa analisa coba diberikan untuk menjelaskan ketidakmampuan orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis untuk menjawab pertanyaan silogis. Luria menyakini bahwa orang – orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang – orang yang sudah mampu baca tulis. Kerangka pikir ini merupakan hasil belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan huruf, menggambungkan dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan suku kata suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.

§  INTELIGENSI
Definisi Intelegensi
Kata inteligensi atau kecerdasan berasal dari kata latin intellegentia, yang pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero, Dalam pandangan orang Amerika, inteligensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang terlingkup dalam inteligensi adalah memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosakata (beberapa banyak kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikanya). Banyak teori yang telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai dari yang klasik, Piaget yang melihat inteligensi berkembang dalam tahapan – tahapan yang jelas hingga Sternberg (1986) yang membagi inteligensi dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, experiential, dan componential. Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik. Kecerdasan experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide – ide baru dan mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berpikir abstrak, memproses informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.



§  Perbedaan Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika kajian masalah inteligensi dibawa melintas budaya, masalah yang pertama ditemukan ternyata bahwa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang memiliki makna sama dengan makan inteligensi yang selama ini dipahami para psikolog Barat. Diyakini perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari nilai – nilai budaya tersebut. Dalam bahasa Cina, kecerdasan dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang terlingkup di dalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab secara sosial. Komponen – komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering sering diabaikan sebagai komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada di suku Baganda Afrika Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada kombinasi kemampuan mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan istilah yang memiliki makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari pintar, mengetahui bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika Barat, terdapat kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi yaitu n’gloule yang dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen, 1985). Perbedaan pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi sosial. Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada budaya yang lain (matsumoto, 1996) Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor inteligensi diantara kelompok – kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan sosial, yang mana hal – hal ini adalah factor – factor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat China. Permasalahan kedua yang menarik perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangan intelegensi manusia adalah teori Piaget. Piaget mendasarkan teorinya pada observasi terhadap anak – anak Swiss. Piaget mengemukakan bahwa anak – anak mengalami kemajuan kognitif melalui 4 tahap sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya, kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Piaget juga mampu menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak – anak yang dating dari non – Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez melakukan penelitian. Penelitian Perez (1988) melakukan pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap tertentu. Kajian lintas budaya juga membuktikan bahwa kemampuan berpikir abstrak atau penalaran ilmiah yang diasuksikan oleh Piaget sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata tidak berlaku secara universal. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai dan pemberian penghargaan masyarakat pada skill dan tertentu.

§  Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal Sosial Cognitif
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya. Ada berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya :
o   Intelegensi Umum
Menurut David Wechsler , inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Sementara itu, Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan ssosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan. Menurut Sartono, stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah : (1) elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi, (2) Priyayi Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat, (3) Priyayi Profesional (dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik), (4) Golongan Belanda dan Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan (5) orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.
o   Gaya Kognitif
Dalam (Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif berhubungan dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal ini berkaitan dengan berbagai aktivitas dan meliputi berbagai objek karena peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti perlu membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih sulit diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda. Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membnagun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku penghuninya. Pada suku Jawa, misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas. Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya gaya hidup. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus, fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminny privilege atau privacy penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang Pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing iyu. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokossmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum jelas. Dalam menganalisis aspek kognitif gaya Indis, kita perlu memperhitungkan konteks budaya Belanda dan Jawa. Jelas bahwa rumah tempat tinggal orang Belanda tidak dihubungkan dengan kosmos dan tidak mempunyai konotasi ritual seperti pandangan dan kepercayaan Jawa. Memang, orang Eropa mengenal peletakan batu pertama dan pemancangan bendera di atas kemuncak bangunan runmahnya yang sedang dibangun dengan diikuti pesta minum bir, tetapi hal semacam ini adalah peninggalan budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah “gema” saja dari adat lama yang sudah kabur pengertiannya. Bagi orang Jawa, menaikkan mala (tiang) sebuah rumah tinggal dengan slametan, melekan (wungon, bedagang), meletakkan secarik kain tolak bala, sajen, dan memilih hri baik, memiliki arti simbolik tertentu. Bagi orang Jawa, meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena adanya paham kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang sulit dijelaskan.





REFERENSI
·         Sumber: Psikologi Lintas Budaya. Tria Dayakisni. Salis Yuniardi (Hal. 103 - 109)
·         https://goo.gl/efW8Ef
·         Berry w John, et el.1997.  Handbook of Cross-Cultural Psychology Volume 2 Basic Processes And Human Development.


No comments:

Post a Comment

komunikasi
email: choirulalfa77@gmail.com

MAKALAH AKUNTANSI KEPERILAKUAN. Yuk kepoin

COVER MAKALAH AKUNTANSI KEPERILAKUAN PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEMARANG 2019 KATA...

Choirulalfa.blogspot.com