PSIKOLOGI
INDONESIA
“KOGNISI
DAN BUDAYA ”
'
FAKULTAS
PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2016
2016
§ Landasan Teori
PSIKOLOGI
LINTAS BUDAYA
Psikologi
lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi
individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai
hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan
ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam
budaya-budaya tersebut. Sedangkan pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen
dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia
dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Menurut
Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi lintas budaya
terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis
bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas
budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya
tertentu)
Sedangkan
Ruang Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam memahami tentang cabang ilmu
psikologi lintas budaya yang dipelejari
1.
Pewarisan dan Perkembangan Budaya
2.
Budaya dan Diri (Self)
3.
Persepsi
4.
Kognisi & Perkembangannya
5.
Psikologi Perkembangan
6.
Bahasa
7.
Emosi
8.
Psikologi Abnormal
9.
Psikologi Sosial
Ø KOGNISI
Kognisi
adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri
Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada
setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain
kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari
masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup
persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu
:
o kategorisasi (pengelompokkan)
o Memori (ingatan) dan
o Pemecahan masalah (problem solving).
Kognisi
dan Budaya adalah daerah penelitian lintas-budaya yang memiliki sejarah
kontroversi yang kuat. Perbedaan antara kelompok budaya dalam tingkat rata-rata
kinerja pada tes kognitif telah ditafsirkan dengan cara yang berbeda secara
dramatis. Ada penulis yang melihat perbedaan tersebut sebagai refleksi lebih
atau kurang langsung variasi dalam kompetensi bawaan. Pada tingkat kelompok
interpretasi tersebut cenderung untuk memohon gagasan "ras",
perbedaan kinerja yang dinilai oleh baterai intelijen (Yaitu, perbedaan IQ)
dianggap berasal dari "ras" perbedaan bakat kognitif. Namun, sudut
pandang yang lebih umum bahwa proses kognitif yang tertanam dalam budaya.
Kelompok budaya memiliki pola kemampuan yang berbeda, berakar pada kebutuhan
ekologi serta pola sosial budaya. Dari perspektif ini perbedaan lintas-budaya
dalam organisasi kegiatan kognitif, dan kecerdasan maka kualitatif berbeda,
diantisipasi. Pertanyaan tentang bagaimana perbedaan besar dalam kecerdasan
yang bahkan tidak masuk akal lagi, setelah diterima bahwa kognisi adalah budaya
khusus domain fungsi psikologis.
Ø Hubungan Budaya dengan Kognisi
Sebagai
makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam
bertingkah laku. Perilaku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk
memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi
masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari
kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan
tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan. Ada suatu benang merah
antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan
dunianya (lingkungan). Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin
saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya. Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi
permasalahan yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh
budaya buruk mempengaruhi pola pikir dan kepribadiaan seseorang maka dengan
sendirinya berbagai masalah yang tidak di inginkan akan terjadi secara
terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum
perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.
§ Kognitif Dalam Lintas Budaya
Kognitif
diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan
pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari
faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu
hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia
bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari
konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial.
Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia
(cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya.
Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi
kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan
tantangan, ancaman, gangguan, hambatan ( AGHT ) dari lingkungan alam dan
sosialnya.
Ada
berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya
terhadap lintas budaya, antara lain:
o Kecerdasan Umum
Mc.
Shane dan Berry memiliki suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes
kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan,
gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya. jika disimpulkan
beberapa hal yang memepengaruhi kemampuan kognitif seseorang bukanlah budaya
yang ada pada lingkungan meraka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh
faktor genetik, kondisi psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.
o Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)
Genetic
Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah
mengatakan bahwa "adanya koherensi antara penampilan kognitif saat
berbagai tugas diberikan pada seseorang". Dalam teori selanjutnya (dalam
bahasan ini) piaget menjelaskan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif :
ü Faktor biologis : berada pada sistem saraf.
ü Faktor keseimbangan : berkembang disebabkan adanya interaksi
antara manusia dengan lingkungan
ü Faktor social :
ü Faktor perpindahan budaya : termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan
lembaga.
o Cara Berpikir
Dalam
pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang
cenderung mengarah pada aspek "bagaimana" dari pada aspek
"seberapa banyak" (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya.
Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara
bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap
masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola
dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku
pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah
pada pola kemampuan yang berbeda juga.
o Contextualized cognition (pengamatan
kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan
suatu metodologi dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut
diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu
kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai
Contextualized cognition . Untuk memperkuat pendekatan mereka, cole
membuat suatu studi empiris dan tinjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas
kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian
adalah kontekstual ( contextualization ). Kepribadian bersifat lentur yang
menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah,
menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
§ Pengaruh kognitif terhadap lintas budaya
antara lain:
o Locus of control
Hal
paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah
masalah locus of control . Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang
menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar
kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain
serta lingkungan. Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan
arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control
eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan
orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat
independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh
dirinya sendiri. Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara
masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat
cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga
seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka
bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia
yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan
mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain atau lingkungan.
o Diri individual
Diri
individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal;
kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan
individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan
diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk
mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun
konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan
keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu. Dalam
kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri
megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja
keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari
orang lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah
atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam
diri.
o Kolektifitas
Budaya
yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan
keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro
kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos . Tugas utama
normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara
keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri
dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative
sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.
Karenanya, diri ( self ) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan
dan harapan-harapannya. Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan
dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan
komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu
focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta
tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah
saling terhubung antar personal. Dapat dilihat bahwa diri ( self ) tidak
terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara
diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam
budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek
diri dalam hubungan.
o Persepsi diri
Hasil
studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak
sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini
menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung
menekankan pada atribut personal: kemampuan atau sifat kepribadian; sebaliknya
individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri
mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
o Sosial explanation
Konsep
diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan
interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual,
yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut
internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang
sama. Akibatnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap
perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa
perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut
internalnya.
o Motivasi berprestasi
Motivasi
adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan energi bagi perilaku manusia
dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak
menarik perhatian dan diteliti dalam penelitian psikologi, sekaligus paling
controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori
motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland .
Dalam teori motivasi Maslow , manusia memiliki hierarki kebutuhan dari
kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi
diri. Sementara menurut Mc-clelland , manusia juga dimotivasi oleh dorongan
sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi,
berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa. Dalam tradisi barat, konsep
diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal
dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial atau interpersonal.
Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian
kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas.
Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang
lain, terutama orang-orang terdekat.
o Peningkatan diri ( self enhancement )
Memelihara atau meningkatkan harga diri
diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung
interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent,
penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri ( self
esteem ) ataupun kepuasan diri ( self satisfiaction ). Sebaliknya, harga diri
ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan
perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling
membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai
unik atau berbeda malah akan membuat ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka
akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.
Ø Budaya, Kategorisasi dan Pembentukan Konsep
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara
bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas
dasar persamaan dan perbedaan karakter dari obyek – obyek dimaksud.
Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses
kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai
buku. Ada bermacam – macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku
pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak – anak. Semuanya kita masukkan dalam
kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan
sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun
fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku
tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar
atau bias dihitung sejumlah jari tangan. Seperti contoh kertas tadi, beberapa
konsep psikologi juga berlangsung universal dalam kategorisasi. Contohnya, adalah kesepakatan dalam semua budaya akan
masalah kategorisasi warna – warna apa yang digolongkan warna – warna apa yang
digolongkan warna primer dan warna sekunder. Semua budaya tanpa melihat apakah
budaya tersebut memiliki kosakata untuk berpuluh variasi warna ataupun hanya
dua kosakata seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya memiliki kosakata
warna gelap dan warna terang – ternyata tetap mampu melakukan
penggolongan warna – warna dan diminta untuk menunjukkan kembali ternyata bias.
Namun kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan adalah warna
sekunder (campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna es (warna
putih bercampur warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi individu yang
tidak hidup di lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang ditunjukkan
adalah warna sekunder dari putih. Orang dengan latar budaya manapun juga
cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk –
bentuk dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Hal
ini berbeda ketika kategorisasi dilakukan terhadap bentuk – bentuk geometris
yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana
factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi
stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam
bentuk, warna, dan ekspresi muka (Berry, 1999). Namun demikian, beberapa
penelitian juga telah membuktikan bagaimana budaya member pengaruh pada
perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang
dibuktikan pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun
apa yang disebut kursi tampaknya semua budaya memiliki kesepakatan, namun
terbuat dari apa yang biasa disebut kursi itu dan bagaimanabentuk kursi itu
tampaknya perbedaan budaya member pengaruh di sini. Pada beberapa budaya, kursi
umumnya terbuat dari bamboo, budaya yang lain mungkin kursi tersebut dari besi.
Namun demikian , kursi panjang dari bamboo yang di Jawa disebut lincak mungkin
saja tidak dikategorikan oleh budaya lain sebagai kursi tetapi sebagai bentuk
lain dari tempat tidur. Percobaan
menarik
dilakukan oleh Bruner dan Grenfield (1966), dalam Matsumoto, (1966) yang
mendukung hipotesa adanya pengaruh budaya dalam proses kategorisasi oleh
kognititif manusia. Pada para responden ditunjukkan beberapa gambar binatang
dan beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan
kategorisasi beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta
melakukan kategorisasi terhadap gambar – gambar tersebut atas dasar perbedaan
warna. Hal ini menjadikan kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada
sesuatu yang lebih dari kesedar penjelasan sederhana akan kematangan yang
mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas
yang mempengaruhi sesuatu yang lebih dari sekedar penjelasan sederhana akan
kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua
komunitas budaya tersebut. Sejauh ini perbedaan di atas diasumsikan terhadi
sebagai pengaruh tingkatan pendidikan Evans dan Segall (1969, dalam Matsumoto,
1996) melakukan penelitian di Uganda terhadap anak dan orang dewasa penduduk
setempat. Beberapa diantara responden anak maupun dewasa memiliki pendidikan
yang cukup baik sedangkan yang lain tidak mengenyam pendidikan. Hasilnya
ditemukan bahwa tidak ada perbedaan, sebagaimana percobaan Greenfield, antara
responden dewasa yang tidak memperoleh pendidikan dengan responden anak – anak
baik yang sekolah maupun yang tidak. Sebaliknya ada perbedaan dasar
kategorisasi antara responden dewasa yang memperoleh pendidikan dengan anak –
anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak – anak
baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak – anak
melakukan kategorisasi atas dasar yang lebih kompleks.
§ Perbedaan Budaya dalam Memori
Memori sendiri adalah sebuah proses
pengelolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding),
penyimpangan (strore), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasar
jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang
menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggil
kembali (Feldman, 1999). Masalah memori ini menjadi menantang ketika dikaitkan
dengan perbedaan budaya. Apakah budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan,
cara, serta apa yang dimemori? Termasuk budaya yang berbeda mempengaruhi
kemampuan memori yang lebih baik daripada masyarakat yang sudah memiliki budaya
baca tulis (literate) karena mereka terbiasa harus mengingat segala informasi
yang ingin mereka ingat tanpa menuliskannya ataukah sebaliknya? Benarkah
masyarakat yang sudah memiliki budaya tulis lebih lemah memorinya karena
terbiasa menggunakan bantuan catatan dalam melakukan pengingatan?
Ross dan Millison (1970, dalam Matsumoto, 1996)
menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingat.
Mereka mendapatkan kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya yang
membandingkan daya ingat pelajar Amerika dengan menemukan bahwa secara umum
remaja Ghania mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Namun
Cole (1971, dalam Matsumoto, 1996) menemukan bahwa sekalipun masyarakat
non-literate mengingat isi cerita lebih baik namun mereka memiliki kemampuan
yang lebih lemah dalam mengingat daftar kata. Cole selanjutnya membangun asumsi
bahwa mengingat informasi – informasi yang saling tidak terkait merupakan hal
yang sulit bagi individu yang tidak mendapat pendidikan dan sebaliknya tidak
bagi yang pernah mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di sekolah murid
terbiasa untuk mengingat huruf –huruf, berbadai macam data ataupun table, rumus
– rumus dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol – simbol abstrak
(tidak memiliki makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya gabungan
huruf – huruf hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam Matsumoto,
1996) melakukan penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang
berpendidikan dengan kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya
ternyata sangat mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang
mendapat pendidikan mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya
dengan kelompok responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden
Arfika yang tidak pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah. Salah satu
aspek memori yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position
Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah
bagian pertama yang kit abaca(primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali
(recency effect) dari daftar kata yang harus kita ingat. Menariknya, Cole dan
Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) menemukan tidak adanya hubungan anatara
serial position dengan kemungkinan apa yang diingat dari penelitiannya pada
masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.
Wagner (1980, dalam matsumoto, 1996)
berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada pengulangan dan strategi
memori ini berhubungan dengan pendidikan. Wagner membandingkan kelompok anak
Moroccan antara yang sekolah dengan yang tidak pernah sekolah dan menemukan
bahwa primacy effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak – anak yang
mendapat pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses memoti atas dua macam,
yaitu hardware atau kemampuan dasar dari memori (the basic limitation of
memory) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap kemampuan memori
pada anak (lihat Bab Vi), dan Software atau bahasa pemrograman – pemrograman bagian
kita mengingat sesuatu kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemrograman inilah
peran pendidikan dan budaya berpengaruh.
§ Budaya dan Problem Solving
Problem solving merupakan suatu proses dalam
usaha menemukan urutan yang benar dari alternative – alternative jawaban suatu
masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kearah pemecahan yang ideal.
Beberapa asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat tekait dengan factor
pendidikan dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya
tentunya. Namun para psikolog telah mencoba memisahkah proses problem solving
dan budaya dengan meminta individu – individu dari berbagai latar budaya untuk
memecahkan permasalahan – permasalahan yang tidak familiar dalam kehidupan
sehari – hari mereka.
Salah satu penelitian yang mencoba memahami
perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah yang dilakukan Cole
(1971). Ia mengambil subjek orang – orang dari Amerika dan Liberia. Dalam
penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki beberapa banyak
tombol, panel, dan lubang (stot). Untuk dapat membuka piranti tersebut dan
mendapat hadiah yang ada di dalamnya, para subyek harus melakukan penggabungan
dua prosedur, yang pertama yaitu menekan tombol yang tepat untuk melepas sebuah
kelereng dan kedua adalah memasukkan kelereng ke dalam lubang yang tepat agar
panel dapat terbuka sehingga pirantipun terbuka. Subyek anak Amerika yang
berusia di bawah 10 tahun ditemukan tidak mampu memecahkan masalah ini dengan
mudah. Namun problem solving ini dengan sangat mudah. Sebaliknya hampir
keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan latar belakang pendidikan,
tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan cara gan langkah yang tepat
membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini adalah orang –
orang Amerika memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik dibandingkan
orang Liberia utamanya dalam berpikir reasoning. Penelitian ini mendapat kritik
tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika mampu mengerjakan
permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam kehidupan sehari –
hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin – mesin tersebut,
seperti: remote control, computer, mesin cuci dsb, sedangkan orang – orang
Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan piranti semacam itu dalam
kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan memberik keuntungan bagi orang
Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi subjek Liberia.
Cole dan rekan – rekannya selanjutnya mengulang
percobaan dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah kotak terkunci beserta
kunci – kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias budaya karena orang –
orang Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila dibandingkan dengan
mesin beserta tombol – tombolnya. Pemecahan masalah tetap dirancang dengan
kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak – kotak kecil yang
berisi kunci yang tepat dengan kunci – kunci mana yang tepat untuk membuka
lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda dengan
percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia mampu
menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama atau dengan
kata lain dengan sama mudahnya. Kesuksesan percobaan Cole ini masih
dipertanyakan, percobaan di atas meneliti kemampuan berpikir logis atau
mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki terkait dengan
kotak – kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini Cole kembali mengadakan
percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan percobaan pertama dan kedua.
Subyek diminta membuka kotak dengan kunci – kunci yang kunci – kunci tersebut
harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka piranti tersebut subyek
harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng ke
dalam percobaan pertama. Subyek – subyek Liberia mengalami kesulitan untuk
menyelesaikan masalah yang diajukan. Cole selanjutnya menarik kesimpulan baru
bahwa kemampuan orang Liberal untuk berpikir logis guna memecahkan suatu
masalah sangat tergantung konteks. Ketika masalah yang disajikan menggunakan
material dan konsep yang sudah mereka kenal, orang – orang Liberia berpikir
logis sama baiknya dengan orang – orang Amerika. Sebaliknya ketika masalah yang
disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak mengalami kesulitan dari mana
memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa
orang Liberia memiliki kemampuan problem solving yang lebih rendah dibandingkan
dengan orang Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya, orang – orang Amerika akan
mengalami kesulitan ketika masalah yang diajukan juga kurang mereka kenal namun
sangat dekat dengan orang – orang Liberia, misalnya: menelusuri jejak binatang
dengan menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya. Tipe permasalahan lain
yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan budaya adalah
kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka permen, Siti masih kanak –
kanak, apakah Siti menyukai permen?). dalam penelitiannya yang luas pada
masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan masih tribal (tradisional)
dan nomaden (hidup berpindah – pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan
berpikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari
pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata – rata kurang mampu memberikan
jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang
sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang
sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang
benar. Dimana tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat
pendidikan. Beberapa analisa coba diberikan untuk menjelaskan ketidakmampuan
orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis untuk menjawab pertanyaan
silogis. Luria menyakini bahwa orang – orang yang tidak memiliki kemampuan baca
tulis memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang – orang yang sudah mampu
baca tulis. Kerangka pikir ini merupakan hasil belajar yang dipelajari di
sekolah. Mulai dari pengenalan huruf, menggambungkan dua huruf menjadi suku
kata, dan menggabungkan suku kata suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar
pola silogisme.
§ INTELIGENSI
Definisi Intelegensi
Kata inteligensi atau kecerdasan berasal dari
kata latin intellegentia, yang pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato
dari Romawi yaitu Cicero, Dalam pandangan orang Amerika, inteligensi adalah
sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya
merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang terlingkup dalam
inteligensi adalah memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta seberapa
lama kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosakata (beberapa banyak
kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan
komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan),
kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berpikir
logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikanya).
Banyak teori yang telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi.
Mulai dari yang klasik, Piaget yang melihat inteligensi berkembang dalam
tahapan – tahapan yang jelas hingga Sternberg (1986) yang membagi inteligensi
dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, experiential, dan
componential. Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan
suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik.
Kecerdasan experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide – ide baru
dan mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan
kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berpikir abstrak, memproses
informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.
§ Perbedaan Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika
kajian masalah inteligensi dibawa melintas budaya, masalah yang pertama
ditemukan ternyata bahwa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata
yang memiliki makna sama dengan makan inteligensi yang selama ini dipahami para
psikolog Barat. Diyakini perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari
nilai – nilai budaya tersebut. Dalam bahasa Cina, kecerdasan dipahami sebagai
otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang terlingkup di dalamnya adalah
kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab secara sosial. Komponen –
komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering sering diabaikan sebagai
komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada di suku Baganda Afrika
Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada kombinasi kemampuan
mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati hati, dan bersahabat
(Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan istilah yang memiliki
makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari pintar, mengetahui
bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika Barat, terdapat
kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi yaitu n’gloule yang
dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela
memberikan pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen, 1985). Perbedaan pemaknaan ini
menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lintas
budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang
Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin
menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi sosial.
Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan
pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada budaya yang
lain (matsumoto, 1996) Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor inteligensi
diantara kelompok – kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari
(1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi itu atau
(2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin
tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan sosial, yang mana hal –
hal ini adalah factor – factor penting dalam intelegensi menurut definisi
masyarakat China. Permasalahan kedua yang menarik perhatian para pemerhati
psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan intelegensi manusia
berlangsung dalam tahapan yang universal dalam lintas budaya. Salah satu teori
yang menjelaskan perkembangan intelegensi manusia adalah teori Piaget. Piaget
mendasarkan teorinya pada observasi terhadap anak – anak Swiss. Piaget
mengemukakan bahwa anak – anak mengalami kemajuan kognitif melalui 4 tahap
sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya, kajian yang dilakukan untuk menjawab
pertanyaan kedua di atas adalah berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat
Eropa. Apakah teori Piaget juga mampu menjelaskan tahap perkembangan intelegensi
pada anak – anak yang dating dari non – Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan
merangsang Perez melakukan penelitian. Penelitian Perez (1988) melakukan
pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan
menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan
pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional
konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku
Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya
dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap
tertentu. Kajian lintas budaya juga membuktikan bahwa kemampuan berpikir
abstrak atau penalaran ilmiah yang diasuksikan oleh Piaget sebagai titik akhir
perkembangan kognitif ternyata tidak berlaku secara universal. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan nilai dan pemberian penghargaan masyarakat pada
skill dan tertentu.
§ Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal
Sosial Cognitif
Kognitif
diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan
pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang
mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha
menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi
aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan
yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan
(culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa)
dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan
kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois,
psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan
(AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya. Ada berbagai hal yang berhubungan
dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya :
o Intelegensi Umum
Menurut
David Wechsler , inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental
yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi
tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai
tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu, Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan Indis. 2011.
Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya.
Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan ssosial baru yang
mempunyai fungsi dan status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi
dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan. Menurut Sartono, stratifikasi
masyarakat Hindia Belanda adalah : (1) elite birokrasi yang terdiri atas
Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi,
(2) Priyayi Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat, (3) Priyayi Profesional (dibagi
menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik), (4) Golongan Belanda dan
Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat
untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan (5) orang kecil (wong
cilik) yang tinggal di kampung.
o Gaya Kognitif
Dalam
(Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif berhubungan
dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal
ini berkaitan dengan berbagai aktivitas dan meliputi berbagai objek karena peneliti
mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti perlu
membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih sulit
diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu
Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda. Untuk memahaminya perlu diketahui
adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala
aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membnagun rumah
tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang
rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku penghuninya. Pada suku Jawa,
misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur,
jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara anggota dan bukan anggota penghuni
rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas. Contoh
lain yang sangat menarik adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya gaya
hidup. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di
kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam
blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan
rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan
fungsi yang khusus, fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminny
privilege atau privacy penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang
Pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing iyu. Anggapan bahwa rumah
adalah model alam mikrokossmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak
adapada alam pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru
diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum
jelas. Dalam menganalisis aspek kognitif gaya Indis, kita perlu memperhitungkan
konteks budaya Belanda dan Jawa. Jelas bahwa rumah tempat tinggal orang Belanda
tidak dihubungkan dengan kosmos dan tidak mempunyai konotasi ritual seperti
pandangan dan kepercayaan Jawa. Memang, orang Eropa mengenal peletakan batu
pertama dan pemancangan bendera di atas kemuncak bangunan runmahnya yang sedang
dibangun dengan diikuti pesta minum bir, tetapi hal semacam ini adalah
peninggalan budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah “gema” saja dari adat lama
yang sudah kabur pengertiannya. Bagi orang Jawa, menaikkan mala (tiang) sebuah
rumah tinggal dengan slametan, melekan (wungon, bedagang), meletakkan secarik
kain tolak bala, sajen, dan memilih hri baik, memiliki arti simbolik tertentu.
Bagi orang Jawa, meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena adanya
paham kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang sulit dijelaskan.
REFERENSI
·
Sumber: Psikologi Lintas Budaya. Tria Dayakisni. Salis
Yuniardi (Hal. 103 - 109)
·
Berry
w John, et el.1997. Handbook of Cross-Cultural Psychology Volume 2 Basic
Processes And Human Development.
No comments:
Post a Comment
komunikasi
email: choirulalfa77@gmail.com