AWAS, MALPRAKTIK PSIKOTES!
Dalam
dunia profesi tentunya diperlukan sebuah norma atau aturan untuk mengatur
profesionalitas kinerja seseorang. Aturan atau norma tersebut umumnya berisi
ketentuan-ketentuan yang membatasi seseorang tentang hal-hal yang boleh
dilakukan atau tidak boleh dilanggar. Dalam dunia praktik ilmu psikologi juga
dikenal sebuah kode etik dimana berisi ketentuan-ketentuan bagi seorang
psikolog atau ilmuan psikologi untuk menjadi seorang yang profesional. Kode
etik psikologi dikeluarkan oleh Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
Himpunan Psikologi
Indonesia (Himpsi) membuat kode etik untuk menjadi acuan bagi para insan
psikologi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai psikolog atau
ilmuan psikologi. Kode etik tersebut selayaknya dijunjung tinggi dan menjadi
landasan dalam semua aktifitas yang berkaitan dengan psikologi di Indonesia.
Akan tetapi, pada kenyataannya banyak hal yang terkait dengan aktifitas
psikologi yang tidak sesuai dengan kode etik yang ada. Seperti halnya berbagai pelanggaran yang dilakukan dan dengan mudah
dijumpai di masyarakat misalnya Psikotes yang dilakukan oleh pihak yang tidak
professional, penjualan buku-buku psikotes, pembocoran tes psikologi, treatment sembarangan, dan berbagai hal lain. Semua itu bisa dinyatakan sebagai pelanggaran
terhadap kode etik psikologi. Pelanggaran terhadap kode etik sangat merugikan
bagi banyak pihak. Pihak psikolog akan dirugikan terkait dengan profesionalitas
kerjanya, sedangkan klien atau pengguna jasa psikolog akan dirugikan juga
karena pelayanan yang diberikan tentu tidak akan maskimal sehingga haknya untuk
selalu mendapat pelayanan yang terbaik akan terganggu.
Tes
psikologi atau sering disebut psikotes merupakan salah satu ranah profesi
psikologi. Psikotes adalah tes untuk mengatur aspek individu secara
psikis. Tes dapat berbentuk tertulis, atau evaluasi secara verbal yang
teradministrasi untuk mengukur fungsi kognitif dan emosioanal. Tes dapat
diaplikasikan kepada anak-anakmaupun dewasa.
Psikotes
merupakan tes psikologi yang diberikan dengan suatu tujuan tertentu. Psikotes
meliputi semua tes yang berkaitan dengan psikologi, berupa alat diagnosa dan
prognosa dari suatu fenomena yang akan diketahui. Oleh sebab itu psikotes
bukanlah hanya tes yang berhubungan dengan “pencil and paper test” saja, tetapi
bentuk lain seperti wawancara dan observasi dapat juga digolongkan sebagai
psikotes jika bertujuan untuk mengetahui gejala psikologis tertentu.
Psikotes harus dilakukan oleh orang yang
paham betul tentang masalah psikologi. Yang berkompeten melakukannya adalah
para psikolog, yaitu sarjana psikologi (S1) yang sudah mengikuti pendidikan
lanjutan di program Magister Profesi Psikolog. Tetapi dalam kenyataannya banyak
penyelewengan – penyelewengan praktik psikotes. Dikutip dari http://prastika20.wordpress.com/2008/08/30/awas-malpraktik-psikotes/ bahwa
disinyalir ada oknum yang bukan berlatar belakang pendidikan psikologi
menawarkan jasa mengadakan tes ke sejumlah sekolah, terutama TK. Ada yang hanya
mengetes coretan anak dan dalam waktu sekejap, sekitar 5 menit, sudah dapat
menginterpretasikan sifat, perilaku, tingkat emosi, maupun tingkat kecerdasan
anak. Bahkan di salah suatu TK di Jakarta, ada pula yang melakukan tes
kecerdasan hanya dengan bertitik tolak pada kemampuan anak menebalkan
titik-titik menjadi bentuk tertentu. Berdasarkan tes tersebut konon dapat
diketahui seberapa tinggi tingkat kecerdasannya. Sungguh kejadian-kejadian
semacam itu merupakan sesuatu yang sulit dipercaya, bahkan bisa dikategorikan
malpraktik. Bayangkan, tes yang dilakukan sedemikian sederhana dan oleh orang
yang tidak berkompeten namun mampu mengorek berbagai kondisi dan kemampuan anak
yang sangat kompleks. Bila tes tersebut hanya digunakan untuk mengetahui
perkembangan motorik halus dan koordinasi visual-motorik anak, boleh jadi
memang bisa mewakili.
Dari kasus tersebut pelanggaran bukan
hanya terdapat pada oknum yang melakukan psikotes tidak berlatar belakang dari
psikologi tetapi juga terdapat pelanggaran penyalahgunaan alat tes psikologi. Hal ini bisa terjadi karena penggunaan alat tes
psikologi yang tidak sesuai dengan prosedur dan tata cara yang ada akan
menghasilkan hasil interpretasi tes yang salah. Hasil interpretasi yang salah
akan menyebabkan klien menjadi dirugikan. Selain itu, kesalahan interpretasi
juga dapat menyebabkan kepercayaan klien terhadap alat tes menjadi berkurang.
Pelanggaran
pemakaian alat tes oleh orang yang tidak berwenang ini sebenarnya adalah
rangkaian dari pelanggaran-pelanggaran kode etik yang lain juga. Alat tes
psikologi bisa dipergunakan oleh orang yang tidak berwenang tentu karena adanya
pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyebarluaskan alat tes psikologi.
Tindakan ini juga merupakan pelanggaran berat terhadap kode etik psikologi. Biasanya,
pihak yang menyebarluaskan alat tes ini adalah orang psikologi sendiri, karena
memang merekalah yang pada awalnya memiliki akses terhadap alat-alat tes
tersebut. Seharusnya, para insan psikologi dapat benar-benar menjaga alat-alat
tes psikologi dengan baik dengan tujuan agar tidak bocor dan dipergunakan
dengan bebas oleh orang-orang yang tidak berkompeten di bidang itu.
Dan Seharusnya tes
psikologi atau psikotes dilakukan oleh tenaga yang berkompeten, yakni psikolog.
Tes
psikologi juga harus dilakukan oleh tenaga yang sudah berpengalaman, karena tes
psikologi (tes kecerdasan, tes projeksi) dirancang oleh para ahli (penemunya)
berdasarkan penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun dan teruji
keabsahannya. Alat ukurnya bisa berupa tes untuk mengetahui tingkat kecerdasan,
gambaran kepribadian seseorang, atau tes khusus untuk mengidentifikasi adanya
gangguan-gangguan tertentu.Untuk dapat
menggunakan dan menginterpretasikan hasil tes psikologis, dibutuhkan pengalaman
dan penguasaan yang sangat baik mengenai tes tersebut. Hal ini tidak dicapai
dalam waktu sekejap. Tes psikologi juga tidak dibenarkan untuk dilakukan secara
massal, karena hasil yang diperoleh akan tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya.
Tes massal yang dilakukan pada anak yang lebih besar pun perlu dilakukan secara
hati-hati karena bisa saja anak gugup saat mengerjakan tes atau sedang tidak
sehat sehingga hasil yang dicapai lebih rendah daripada kemampuan sesungguhnya.
Kesempatan “menyontek” pekerjaan orang lain pun harus dijaga agar tidak timbul
hal-hal yang tidak diinginkan.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut menyalai kode
etik psikologi pasal 4 tentang Penyalahgunaan Bidang Psikologi, pasal 7 tentang
Ruang Lingkup Kompetensi, pasal 9 tentang Dasar-dasar Pengetahuan Ilmiah dan
Sikap Profesional, pasal 13 tentang Sikap Profesional, pasal 35 tentang
Keakuratan Data dan Laporan kepada Pembayar atau Sumber Dana, pasal 62 tentang
Dasar Assesmen, pasal 63 tentang Penggunaan Assessmen, pasal 67 tentang Menjaga
Alat, Data dan Hasil Assesmen, dan juga pasal 72 tentang Kualifikasi Konselor
dan Terapis.
Di dalam kode etik semua sudah diatur
sedemkian rupa, tetapi ditengah-tengah
maraknya pelanggaran kode etik psikologi dan malpraktek psikotes ini tidak
dibarengi dengan kekuatan hukum. Satu-satunya landasan hukum yang dimiliki
untuk dapat menghentikan berbagai pelanggaran tersebut adalah dari HIMPSI,
namun HIMPSI hanya dapat menindaki pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
anggotanya saja. Tidak dapat lebih jauh menindaki pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak lain karena wewenang yang dimiliki oleh HIMPSI belum
diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.
Tetapi ILMPI
(Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia) tidak hanya diam dengan
pelanggaran-pelanggaran kode etik dan kurang tegasnya penindakan pelanggaran
tersebut. ILMPI kini tengah berjuang untuk mewujudkan undang-undang keprofesian
psikologi, agar penindakan tegas bias dilakukan untuk oknum-oknum pelanggar kode
etik psikologi.
No comments:
Post a Comment
komunikasi
email: choirulalfa77@gmail.com