BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah malpraktik dalam
pelayanan kesehatan pada akhir-akhir ini mulai ramai dibicarakan masyarakat
dari berbagai golongan. Hal ini ditunjukkan banyaknya pengaduan kasus-kasus malpraktik yang
diajukan masyarakat terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan
pasien dalam melakukan perawatan. Sebenarnya dengan
meningkatnya jumlah pengaduan ini membuktikan bahwa masyarakat mulai sadar akan
haknya dalam usaha untuk melindungi dirinya sendiri dari tindakan pihak lain
yang merugikannya. Dengan menggunakan jasa pengacara masyarakat mulai berani
menuntut atau menggugat dokter yang diduga telah melakukan malpraktik.1
Bertitik tolak dari adanya perbedaan pendapat ini, tidak
mengherankan jika banyak putusan profesi dokter yang menyatakan tidak ada malpraktik yang dilakukan dokter
seringkali ditanggapi secara sinis oleh pengacara. Dari munculnya perbedaan pendapat ini yang seharusnya
tidak perlu terjadi, perlu dicari solusi untuk menghilangkannya. Salah satu
cara adalah dengan merumuskan bersama mengenai pengertian tentang apa yang
dimaksud dengan malpraktik tersebut.2
Perlu diperhatikan pula, bahwa dokter merupakan bagian
dari masyarakat, karena dokter juga mengenal berbagai tanggungjawab terhadap
norma-norma yang berlaku di masyarakat dimana dokter bertugas.
Berdasarkan pernyatan di atas, maka tulisan ini akan
mengkaji tentang Malpraktik dokter,
tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik
medis dan perlindungan hukum korban malpraktik
dokter.3
B.
Tujuan dan Manfaat
Penulisan
Penulisan berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka
tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1.
Untuk
dapat menjelaskan dan memahami tentang Malpraktik dokter
2.
Untuk
dapat mengetahui dan memahami apa faktor-faktor penyebab terjadinya
malpraktikyang dihadapi dalam penyelesaian tindak pidana malpraktik yang
dilakukan oleh dokter
3.
Untuk
dapat mengetahui dan memahami kriteria penentuan terjadinya tindak pidana
malpraktik yang dilakukan oleh dokter
4.
Melalui
penulisan ini, manfaat penulisan yang dapat diambil dari makalah ini antara
lain agar dapat memberi masukan dan ilmu pengetahuan khususnya mengenai tindak
pidana malpraktik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Pengertian
Malpraktik
Ada
berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktik.
Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Veronica
menyatakan bahwa istilah malparaktik berasal dari “malpractice” yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam
menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan oleh dokter.4
b.
Hermien
Hadiati menjelaskan malpractice secara
harfiah berarti bad practice,
atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi
medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena
malpraktik berkaitan dengan “how to
practice the medical science and technology”, yang sangat erat
hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang
yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan
istilah “maltreatment”.5
c.
Menurut
J. Guwandi merumuskan pengertian malpraktik medik tersebut, yakni: 6
a.
melakukan
sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan;
b.
Tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
c.
Melanggar
sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d.
Danny
Wiradharma memandang malpraktik dari sudut tanggung jawab dokter yang berada
dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek
buruk.7
e.
Amri Amir
menjelaskan malpraktik medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu
menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan
kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.8
Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan
penggunaan istilah medical malpractice
(malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1.
John D.
Blum memberikan rumusan tentang medical
malpractice sebagai “a form
of professional negligence in which
measerable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act
or ommission by the defendant practitioner” (malpraktik medik merupakan
bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang
terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari
tindakan dokter).9
2.
Black Law
Dictionary merumuskan malpraktik sebagai “any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in
professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct…”
(perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang
dibawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli
dalam menjalankan kewajibannya secara hukum,
praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).10
Dari beberapa
pengertian tentang malpraktik medik diatas semua sarjana sepakat untuk
mengartikan malpraktik medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena
tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan
standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau
bahkan meninggal dunia.
Akan tetapi menurut
penulis, malpraktik medik tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari kalangan
profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi
di bidang pelayanan kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan.
B.
Jenis-Jenis Malpraktik
Ngesti
Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktik medik menjadi dua bentuk, yaitu
malpraktik etik (ethical malpractice)
dan malpraktik yuridis (yuridical
malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.11
-Malpraktik Etik
Yang dimaksud dengan malpraktik etik adalah tenaga
kesehatan
melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang
bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan.
-Malpraktik Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridis ini menjadi
tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata (civil
malpractice), malpraktik pidana (criminal
malpractice) dan malpraktik administratif (administrative malpractice).11
1). Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal
yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam
transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad),
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun isi daripada tidak dipenuhinya
perjanjian tersebut dapat berupa:11
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnya dilakukan
2) Malpraktik Pidana
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal
dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau
kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal
dunia atau cacat tersebut.
Malpraktik pidana ada tiga bentuk yaitu:11
a.
Malpraktik
pidana karena kesengajaan(intensional),
misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan
pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.
b.
Malpraktik
pidana karena kecerobohan (recklessness),
misalnya melakukan tindakan yang tidak lege
artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan
tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c.
Malpraktik
pidana karena kealpaan (negligence),
misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga
kesehatan yang kurang hati-hati.
3) Malpraktik Administratif
Malpraktik administrastif terjadi apabila
tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang
berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek.
C.
Teori-Teori Malpraktik
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan
malpraktik yaitu:9,11
a.
Teori
Pelanggaran Kontrak Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan
malpraktik adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa
secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat
seseorang bila mana diantara keduanya
tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b.
Teori
Perbuatan Yang Disengaja Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai
dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktik adalah
kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan
seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and battery)
c.
Teori
Kelalaian Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah
kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang
dikategorikan dalam malpraktik ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu
kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat
(culpa lata).
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan
untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktik.
Teori-teori itu adalah:10
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko
(Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga
kesehatan akan terlindung dari tuntutan malpraktik, bila pasien memberikan izin
atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia
memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik
tersebut.
b.
Teori
Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan
pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c.
Perjanjian
Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk
melindungi diri dari tuntutan malpraktik adalah dengan mengadakan suatu
perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan
menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian
malpraktik.
d.
Peraturan
Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan
yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati)
pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktik kecuali
jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e.
Pembebasan
Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan
tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktik, dan kedua belah pihak
bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama.
f.
Peraturan
Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktik hanya
dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek
daripada tuntutan-tuntutan hukum yang lain.
g.
Workmen’s
Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang
terlibat dalam suatu kasus malpraktik keduanya bekerja pada suatu lembaga atau
badan usaha yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi
dari kasus malpraktik yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut.Hal ini
disebabkan menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja
menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak
menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka.
Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak
berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien.
Walaupun
terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan
tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga
kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori
pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya.
D. Pengaturan Malpraktik Dokter
Pada umumnya, apabila ada dugaan terjadi
malpraktik yang dilakukan oleh dokter atau rumah sakit terhadap seorang pasien,
dasar dari gugatan pasien terhadap dokter atau rumah sakit yaitu menggunakan
Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam prakteknya untuk menjerat seseorang itu telah
melakukan kesalahan dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata seperti tersebut
di atas, maka biasanya digunakan juga Pasal selanjutnya yaitu Pasal 1371 ayat 1
KUHP.
Banyaknya kasus malpraktik yang muncul ke
permukaan biasanya hanya diselesaikan dengan solusi damai pada tingkat Majelis
Kehormatan Kode Etik Kedokteran (MKEK). Padahal yang dipertaruhkan tidak
sekedar kompensasi, tetapi yang lebih penting lagi adalah kelangsungan hidup
pasien.
E. Pengaturan Malpraktik Dokter
dalam Bidang Hukum Perdata
Dokter
yang melakukan praktik kedokteran adalah dalam rangka melaksanakan hak dan
kewajiban dalam suatu hubungan hukum dokter pasien. Yang dimaksud dengan
hubungan hukum (rechtsbetrekking)
adalah hubungan antardua subjek hukum atau lebih, atau antara subjek hukum dan
objek hukum yang berlaku di bawah kekuasaan hukum, atau diatur/ada dalam hukum
dan mempunyai akibat hukum. Jelasnya, hubungan hukum ada 3 kategori, yaitu: 13
a)
Hubungan
hukum antar dua subjek hukum orang dengan subjek hukum orang, misalnya hubungan
hukum dokter-pasien
b)
Hubungan
hukum antara subjek hukum orang dengan subjek hukum badan, misalnya antara
pasien dengan rumah sakit; dan
c)
Hubungan
hukum antara subjek hukum orang maupun badan dengan objek hukum benda berupa
hak kebendaan.
Malpraktik perdata terjadi
apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) dalam transaksi terapeutik, baik oleh dokter maupun tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onreghmatige daad), sehingga
menimbulkan kerugian kepada pasien.
Ingkar janji atau wanprestasi ini diatur dalam Pasal
1234, Pasal 1239, Pasal 1243 dan Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 1234 KUH
Perdata, disebutkan bahwa: “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Kemudian Pasal 1239
KUHPerdata mengatur pula mengenai akibat hukum bagi pihak yang tidak
melaksanakan isi dari perikatan yang terjadi. Hal ini sebagaimana ditegaskan
bahwa:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan
penggantian biaya, rugi dan bunga.”
F. Tanggungjawab Dokter Dalam Kasus MalpraktikMedis (Medical Malpractice)
Banyak persoalan malpraktik atas kesadaran hukum
msyarakat diangkat menjadi masalah perdata. Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dalam
perkembangannya diperluas menjadi 4 (empat) kriteria. 14
-
Pertama,
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; atau
-
kedua,
melawan hukum hak subjektif orang lain; atau
-
ketiga,
melawan kaidah tata susila; atau
-
keempat bertentangan
dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta
benda orang lain.
Masalah tanggungjawab
dokter dalam kasus malpraktik medik,
ada relevansi dengan perbuatan melanggar hukum Pasal 1366 dan 1364 KUHP, yaitu:16
-
pertama pasien
harus mengalami suatu kerugian
-
kedua,
ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga dapat
bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya)
-
ketiga,
ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan; dan
-
keempat,
perbuatan itu melanggar hukum.
Apabila seseorang
pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul perbuatannya akan
berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain dapat dikatakan
bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk
dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul hal adanya keadaan-keadaan yang
menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi.17
Kesalahan bertindak
ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam melakukan observasi
terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan bersama.
Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang masuk di dalam kategori tindakan
melawan hukum hukum, sehingga menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh
pasien.17
G. Perlindungan Hukum Korban Malpraktik Dokter
Doktrin adalah
pendapat para ahli hukum dan landasan penggunaan doktrin yaitu asas hukum yang
mengedepankan communis opinio doctorum atau seseorang tidak boleh menyimpang
dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin yang berlaku di dalam
ilmu kesehatan yaitu Res Ipsa Loquitur
artinya doktrin yang memihak pada korban. Pembuktian dalam hukum acara
perdata yang menentukan bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam
bentuk kelalaian tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut, cukup
menunjukkan faktanya. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan.
H. Kode Etik Kedokteran
KEWAJIBAN UMUM
·
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter.
·
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
·
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
·
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan
yang bersifat memuji diri.
·
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
·
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam
mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang
belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
·
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
·
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas
martabat manusia.
·
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang
dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang
melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
·
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien,
hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien
·
Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
·
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif),
baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenar-benarnya.
·
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat
di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati1 13.
KEWAJIBAN
DOKTER TERHADAP PASIEN
·
Pasal 10
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam
hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai
keahlian dalam penyakit tersebut.
·
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada
pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
·
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.
·
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN
DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
·
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
·
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan
teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER
TERHADAP DIRI SENDIRI
·
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya
dapat bekerja dengan baik.
·
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. 12
I. HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
Hubungan
dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada etika
kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus meletakkan
kesehatan pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis
Internasional pula menyatakan bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan
terbaik sesuai sarana yang tersedia atas kepercayaan yang telah diberikan
pasien kepadanya. Prinsip utama moral profesi adalah autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula adalah veracity (memberikan keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy,
dan confidentiality (menjaga
kerahasiaan).
Hubungan
dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan memegang
prinsip beneficence sebagai prinsip
utama. Namun cara ini dikatakan mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori social contract dengan dokter dan pasien
sebagai pihak bebas yang saling menghargai dalam membuat keputusan. Dokter
bertanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan pasien memegang kendali
keputusan penting terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup
pasien.
Hubungan
dokter-pasien yang baik memerlukan kepercayaan. Maka, dengan memegang pada
dasar kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya, seorang dokter tidak
boleh menjalin hubungan di luar bidang profesinya dengan pasien yang sedang
dirawat 12.
MENGHORMATI DAN PELAYANAN SAMA RATA
Isu
hak sama rata merupakan suatu hal yang rumit buat dokter. Menurut Deklarasi
Geneva, dokter tidak boleh mendiskriminasi pasien baik secara umur, penyakit,
ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, orientasi seksual, maupun status social.
Tetapi pada masa yang sama dokter juga dibenarkan untuk menolak pasien yang
datang kepadanya kecuali pada kasus gawat darurat dengan alasan kurang
kemahiran dan penyakit pasien bukan di dalam bidang kompetensi nya.
Dokter
juga harus menyadari bahwa perilaku terhadap pasien turut berpengaruh dalam
hubungan dokter-pasien untuk mewujudkan kepercayaan dalam diri pasien kepada
dokternya. Dokter juga tidak boleh meninggalkan pasien di bawah jagaannya
sehingga Kode Etika Medis Internasional dari World Medical Association(WMA)
menyatakan bahwa dokter hanya boleh “meninggalkan” pasiennya dengan cara
merujuk pasien ke dokter lain apabila tindakan lanjut yang diperlukan adalah di
luar bidang kompetensinya.
Selain
itu, dokter juga tidak dibenarkan untuk menolak pelayanan kesehatan terhadap
pasien dengan HIV/AIDS. Ini karena menurut WMA, pasien dengan HIV/AIDS harus
diperlakukan seperti pasien lain dan dokter hanya boleh melepaskan
tanggungjawabnya melalui rujukan ke dokter lain yang lebih kompeten12.
KOMUNIKASI DAN CONSENT
Informed
consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada masa
kini. Informed consent yang benar harus
disertai dengan komunikasi baik antara dokter dan pasien. Keterangan yang dapat
diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed consent termasuklah
menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan penyakit.
Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.
Informed
consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak tindakan
medik yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain.
Pasien yang kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa
tindakan ini dapat mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana
informed consent dikecualikan yaitu:
1. Pasien
menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada dokter.
Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang merawatnya,
dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal dilakukan.
2. Keadaan
apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak besar
terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah
apabila pasien cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang
penyakitnya. Namun, dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat
menerima berita tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya
sesuai dengan hak pasien. 13
INFORMED CONSENT UNTUK PASIEN
INKOMPETEN
Pasien
inkompeten adalah mereka yang tidak mampu membuat keputusan untuk diri mereka
sendiri seperti anak, individu dengan gangguan psikologi atau neurologi berat
dan pasien yang tidak sadar. Mengikut WMA Declaration on the Rights of the
Patients, apabila pasien tidak mampu membuat keputusan untuk dirinya sendiri,
perlulah mendapat kebenaran dari wakilnya. Apabila tidak dapat ditemukan wakil
dan pasien memerlukan tindak medis segera, dokter perlulah memikirkan bahwa
pasien sudah bersetuju dengan tindakan yang bakal dilakukan melainkan telah
tercatat bahwa pasien tidak bersetuju dengan tindakan tersebut sebelumnya.
Apabila
pasien adalah anak, hak diberikan kepada mereka yang bertanggungjawab
terhadapnya. Namun, pasien harus ikut serta dalam pembuatan keputusan dan
memahami tindakan yang bakal dilakukan.13
KERAHASIAAN PASIEN
Dasar
dari kerahasiaan pasien adalah autonomy, rasa hormat dan kepercayaan pasien.
Kepercayaan adalah bagian paling penting dalam hubungan dokter-pasien sehingga
seorang dokter tidak dibenarkan untuk membuka rahasia pasien tanpa kebenaran
dari pasien itu sendiri kecuali diminta oleh hukum. Dokter juga dibenarkan
untuk membuka rahasia pasien apabila pasien tidak mampu untuk mengambil
keputusan sendiri.
Dalam
keadaan di mana pasien dapat menimbulkan bahaya kepada orang sekitarnya, dokter
dapatlah memberitahu mereka yang mungkin beresiko terhadap penyakit pasien
tersebut. Contohnya adalah memberitahu pasangan pasien dengan HIV/AIDS tentang
penyakitnya apabila pasien enggan untuk melakukan seks dengan perlindungan
12.
HUBUNGAN DOKTER-TEMAN SEJAWAT
Profesi
kedokteran merupakan profesi yang berjalan di bawah satu sistem hirarki baik
secara internal maupun eksternal. Hirarki internal dapat dibagi kepada tiga
yaitu perbedaan kedudukan dokter berdasarkan kepakaran, perbedaan berdasarkan
pencapaian akademik, dan perbedaan kompetensi dan pengalaman dalam menangani
pasien. Secara eksternal pula, dokter sering diletakkan di bagian tertinggi
dibanding petugas kesehatan lain .
Dalam
perkembangan ilmu kedokteran, seorang dokter harus menyadari bahwa dia tidak
mampu menangani semua penyakit dan memerlukan kerjasama baik antara tenaga
kesehatan lain seperti perawat, pharmacist, ahli fisioterapi, teknisi
laboratorium, dan lain-lain.13
HUBUNGAN TEMAN SEJAWAT
Hubungan
antara dokter dan teman sejawat dinyatakan dalam Declaration of Geneva yang
menyatakan hubungan antara petugas kesehatan adalah seperti saudara. Menurut
Kode Etik Medik Internasional pula, terdapat dua larangan dalam hubungan sesama
dokter yaitu:
1. Membayar
atau menerima bayaran dari dokter lain dalam menangani pasien
2. Mengambil
alih tugas perawatan pasien dari dokter lain tanpa rujukan dokter tersebut.
Sering
dalam praktek sehari-hari, akan timbul perbedaan pendapat antara dokter tentang
penanganan yang tepat untuk seorang pasien. Dengan menganggap isu yang timbul
hanya untuk kebaikan pasien dan tidak ada penyimpangan dari etika kedokteran,
hal ini dapat diselesaikan dengan cara:
1. Dilakukan
secara informal yaitu melalui rundingan dan perbincangan antara pihak yang
terlibat. Perbincangan hanya akan dilakukan secara formal apabila cara informal
tidak member hasil.
2. Opini
semua pihak yang terlibat perlu didengarkan dan dipertimbangkan.
3. Pasien
berhak menentukan tindakan medis untuk dirinya dan pilihan pasien ini akan
menjadi penunjang utama dalam pengambilan keputusan isu terkait.
4. Apabila
semua rundingan tidak disepakati, maka penyelesaian isu dapat melibatkan pihak
wewenang dan hukum.11
HUBUNGAN GURU DAN MAHASISWA
KEDOKTERAN
Hubungan
antara tenaga pengajar dan mahasiswa kedokteran juga penting dalam etika
kedokteran. Mahasiswa kedokteran harus menghormati dan memanfaatkan ilumu yang
diperoleh sebaiknya. Tenaga pengajar fakultas kedokteran juga harus menghormati
mahasiswa dan membimbing mahasiswa sebaiknya sesuai etika profesi kedokteran 13.
PELAPORAN MALPRAKTEK
Kewajiban
melaporkan malpraktek dan praktek tidak kompeten dinyatakan dalam Kode Etik
Medis Internasional yaitu “A physician shall report to the appropriate
authorities those physicians who practice unethically or incompetently or who
engage in fraud or deception”. Dokter sering kali sulit untuk membuat pelaporan
tentang tindakan malpraktek dokter lain atas dasar simpati atau persahabatan
tetapi perlu diingatkan bahwa pelaporan adalah salah satu tugas professional
seorang dokter 10.
Namun,
tindakan pelaporan ke pihak wewenang harus menjadi pilihan terakhir apabila
metode lain seperti menegur dan memberi peringatan kepada dokter yang
bersangkutan tidak dapat menyelesaikan tindakan malprakteknya.
HUBUNGAN DOKTER DAN TENAGA PELAYANAN
KESEHATAN LAIN
Dokter
seharusnya mempunyai hubungan non diskriminasi dan saling hormat-menghormati
sesama tenaga pelayanan kesehatan lain. Perlu diingatkan bahwa semua tenaga
pelayanan kesehatan, walaupun berbeda dari tingkat pendidikan, berpegang pada
prinsip yang sama yaitu memberikan pelayanan terbaik untuk kesehatan pasien 13.
HAK PASIEN
WMA
telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991)
yang menyatakan hak pasien adalah sebagai berikut3:
1. Hak
memilih dokter secara bebas
2. Hak
klinis dan etis
3. Hak
untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat
4. Hak
untuk dihormati kerahasiaan dirinya
5. Hak
untuk mati secara bermartabat
6. Hak
untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU
Kesehatan pula menyebutkan beberapa hak pasien yaitu:
1. Hak
atas informasi
2. Hak
atas second opinion
3. Hak
untuk memberi persetujuan atau menolak suatu tindakan medis
4. Hak
untuk kerahasiaan
5. Hak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan
6. Hak
untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga
kesehatan.
Selain
itu, UU Praktik Kedokteran menyatakan hak pasien sebagai berikut:
1. Hak
untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis (Pasal 45
ayat (3)). Penjelasan sekurang-kurangnya meliputi diagnosis, tatacara tindakan,
tujuan tindakan medis yang bakal dilakukan, alternative tindakan lain dan
risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap
tindakan yang akan dilakukan.
2. Hak
untuk memeinta pendapat dokter lain
3. Hak
mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis
4. Hak
untuk menolak tindakan medis
5. Hak
untuk mendapatkan isi rekam medis 14
Contoh
Kasus Malpraktek dan Analisanya
1.
Kasus
1
Liputan6.com, Jakarta
: Mencuatnya kasus dipidanakannya dokter spesialis kebidanan dan kandungan,
Dewa Ayu Sasiary Prawani dalam kasus malapraktik terhadap korban Julia
Fransiska Makatey (25), masih belum menemukan titik terang.
Untuk mengetahui lebih jelas kronologi kasusnya,
berikut ulasan yang diuraikan Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia (POGI), Dr Nurdadi Saleh, SpOG beberapa waktu lalu:
·
10
April 2010
Korban, Julia Fransiska
Makatey (25) merupakan wanita yang sedang hamil anak keduanya. Ia masuk ke RS
Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah
dalam tahap persalinan pembukaan dua. Namun setelah delapan jam masuk tahap
persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul tanda-tanda gawat janin,
sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan operasi caesar darurat.
"Saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi
mengeluarkan feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah
sesar," ujarnya. Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan
pertama dimulai, pasien mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter
menyatakan, itu adalah tanda bahwa pasien kurang oksigen. "Tapi setelah itu bayi berhasil
dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin memburuk dan sekitar 20
menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia," ungkap Nurdadi, seperti
ditulis Senin (18/11/2013).
·
15
September 2011
Atas kasus ini, tim dokter
yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry Simanjuntak, dituntut
Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik
keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa
tidak bersalah dan bebas murni.
"Dari hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena
adanya emboli udara, sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak
diketahui oleh dokter. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada bilik
kanan jantung pasien. Dengan bukti ini PN Manado memutuskan bebas murni,"
tutur dr Nurdadi. JPU menyatakan ada beberapa hal yang
perlu dikaji kembali terkait keputusan bebas murni yang dikeluarkan oleh PN
Manado. Di antaranya keberatan mengenai kelalaian yang dilakukan terdakwa;
tidak adanya informed consent; dan tidak dilakukannya prosedur pemeriksaan
jantung sebelum tindakan operasi. Tapi ternyata kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.
·
18
September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter
lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian akhirnya masuk daftar
pencarian orang (DPO).
·
11
Februari 2013
Keberatan atas keputusan
tersebut, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan dinyatakan akan
diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dalam surat keberatan tersebut, POGI
menyatakan bahwa putusan PN Manado menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan kalau ketiga dokter tidak bersalah melakukan tindak
pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK)
menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam
melakukan operasi pada pasien.
·
8
November 2013
Dr Dewa Ayu Sasiary Prawan
(38), satu diantara terpidana kasus malapraktik akhirnya diputuskan bersalah
oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan penjara. Ia diciduk di tempat
praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan
Timur (Kaltim) oleh tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejari Manado
sekitar pukul 11.04 Wita. Sementara kedua dokter lainnya yakni dr Hendry
Simanjuntak dan dr Hendy Siagian masih dicari. Menurut keterangan Nurdadi,
kedua dokter tersebut sedang melakukan pelatihan.
Analisa kasus
Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan
tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan
lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No.
290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada
Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada
pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien
pingsan atau tidak sadar.
Jika ditinjau dari hukum
kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan
dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
·
Tidak
ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau
anggota keluarga terdekat (next of kin)
·
Tidak
ada waktu lagi untuk menunda-nunda
·
Suatu
tindakan harus segera diambil untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota
tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah
diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan
gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka
KUHP Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang
lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu
“Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang
lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam
telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang
tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”.
Dalam keadaan yang demikian
perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi
berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk
mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban
memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan
mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
Kesimpulan
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
2. Kasus
2
DETIKNEWS.COM
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi
jaksa atas kasus malpraktik dengan terdakwa dr Wida Parama Astiti. MA
memutuskan dr Wida telah melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun
meninggal dunia dan dijatuhi 10 bulan penjara.
Seperti dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA), Jumat (22/3/2013), kasus tersebut bermula saat dr Wida menerima pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang diantar orang tuanya karena mengalami diare dan kembung dan dr Deva langsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan infuse, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap.
Keesokan harinya, dr Wida mengambil tindakan medis dengan meminta kepada perawat untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr Wida berada di lantai 1 dan tidak melakukan pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan Deva kejang-kejang. Akibat hal ini, Deva pun meninggal dunia.
Seperti dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA), Jumat (22/3/2013), kasus tersebut bermula saat dr Wida menerima pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang diantar orang tuanya karena mengalami diare dan kembung dan dr Deva langsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan infuse, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap.
Keesokan harinya, dr Wida mengambil tindakan medis dengan meminta kepada perawat untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr Wida berada di lantai 1 dan tidak melakukan pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan Deva kejang-kejang. Akibat hal ini, Deva pun meninggal dunia.
"Berdasarkan
keterangan ahli, seharusnya penyuntikan KCL dapat dilakukan dengan cara
mencampurkan ke dalam infuse sehingga cairan KCL dapat masuk ke dalam tubuh
penderita dengan cara masuk secara pelan-pelan," demikian papar dakwaan
jaksa.
Lantas, dr Wida diproses secara hukum dan pada 1 Juni 2011 Kejaksaan Negeri Sidoarjo menuntut dr Wida dijatuhkan hukuman 18 bulan penjara karena melanggar Pasal 359 KUHP. Tuntutan ini dipenuhi majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo pada 19 Juli 2011. Namun terkait lamanya hukuman, majelis hakim memutuskan dr Wida harus mendekam 10 bulan karena menyebabkan matinya orang yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjannya.
Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada 7 November 2011. Namun jaksa tidak puas dan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Putusan Pengadilan Tinggi sangat ringan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan tidak membuat jera pelaku atau orang lain yang akan melakukan perbuatan yang sama," demikian alasan kasasi jaksa. Namun, MA berkata lain.
Lantas, dr Wida diproses secara hukum dan pada 1 Juni 2011 Kejaksaan Negeri Sidoarjo menuntut dr Wida dijatuhkan hukuman 18 bulan penjara karena melanggar Pasal 359 KUHP. Tuntutan ini dipenuhi majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo pada 19 Juli 2011. Namun terkait lamanya hukuman, majelis hakim memutuskan dr Wida harus mendekam 10 bulan karena menyebabkan matinya orang yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjannya.
Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada 7 November 2011. Namun jaksa tidak puas dan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Putusan Pengadilan Tinggi sangat ringan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan tidak membuat jera pelaku atau orang lain yang akan melakukan perbuatan yang sama," demikian alasan kasasi jaksa. Namun, MA berkata lain.
"Menolak
permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidoarjo,"
demikian putus MA yang diketok olah majelis hakim Dr Artidjo Alkostar, Dr
Sofyan Sitompul dan Dr Dudu D Machmuddin pada 28 September 2012 lalu.
Analisa Kasus
Pasal 359 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”
Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu
layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian
medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila
memenuhi empat unsur di bawah ini.
·
Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah
adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya,
yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan
kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional
diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan,
dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari
segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai
perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau
dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.
·
Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan
melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami
apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu
standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang
kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa
dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat
minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang
suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das
sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan.
Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan
yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan
pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya
Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given
situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical
situation”.
·
Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah
segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur
kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya.
Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang
materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat
kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang
dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan,
baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang
masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa
kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of
opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian
immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
·
Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.
Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik
harus membuktikan adanya ke-empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja
diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak
cukup bukti.
3. Kasus
3
Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan
kesehatannya di RS Internasional Omni atas keluhan demam, sakit kepala, mual
disertai muntah, kesulitan BAB, sakit tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh
dokter rumah sakit, dr.Hengky Gosal SpPD dan dr.Grace Herza Yarlen Nela, Prita
didiagnosis menderita demam berdarah, atau tifus. Setelah dirawat selama empat hari disertai serangkaian
pemeriksaan serta perawatan, gejala awal yang dikeluhkan berkurang namun
ditemukan sejenis virus yang menyebabkan pembengkakan pada leher.Selama masa
perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan yang diberikan oleh dokter atas
jenis-jenis terapi medis yang diberikan, disamping kondisi kesehatan yang
semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil
laboratorium awal menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa.
Disebabkan karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam
medis serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah
sakit Prita kemudian menulis email tentang tanggapan serta keluhan atas
perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis.Email tersebut kemudian menyebar
luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat bantahan atas
tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan
hukum baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Saat dirawat Prita Mulyasari
tidak mendapat kesembuhan, sebaliknya penyakitnya menjadi lebih parah dengan
beberapa keluhan tambahan yakni pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya.
Lanjutnya Ibu Prita menemui kejanggalan pada keterangan medisnya, dimana
trombositnya yang semula 27.000 pada diagnosis pertama menderita demam
berdarah, kemudian secara terpisah dokter menginformasikan adanya “revisi”
dimana trombosit Ibu Prita menjadi 181.000 dengan diagnosis virus udara dan
gondongan.
Keterangan medis tersebut
antara lain, penjelasan medis tentang diagnosis Ibu Prita yang menderita demam
berdarah hingga perubahan diagnosis menderita gondongan dan virus udara
menular, harus dirawat dan dinfus serta diresepkan obat dengan dosis tinggi.
Konsekuensinya, Ibu Prita mengalami pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya
seperti lengan, leher, dan mata. Hal ini selaras seperti yang dikeluhkan
beliau:
Keluhan: laporan lab yang
“direvisi” dengan trombosit 27.000 menjadi 181.000
“…Mulai malam itu saya diinfus
dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien
suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan
menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000
(hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan
instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya
tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien…”
Keluhan: pembengkakan beberapa
bagian tubuh dan sesak napas
“..Suami dan kakak-kakak saya
menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang
27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup
saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya
leher kiri dan mata kiri…”
Analisa Kasus
Melihat kasus tersebut, dapat ditemukan sebuah
contoh malpraktik administrasi berupa pelanggaran dalam rekam medis. Dalam
PERMENKES No. 749a/Menkes/XII/89 tentang RM disebutkan pengertian RM adalah
berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan.
Pasal 14 Permenkes no. 749a/1989 tentang tujuan dan
fungsi rekam medis yaitu sebagai dasar pelayanan kesehatan dan pengobatan,
pembuktian hukum, penelitian dan pendidikan, dasar pembiayaan pelayanan
kesehatan, dan statistic kesehatan. Maka rekam medis harus dibuat relevan,
kronologis dan orisinil. Data yang diberikan haruslah berupa data yang
sebenarnya dan bukan karangan semata.
Dalam kasus di atas telah terjadi pemalsuan data
tentang kondisi pasien sesuai dengan pengakuan dari pasien atau si penderita yang
menyebutkan bahwa “Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang
air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini
tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah
hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.” hal ini dinilai telah
melanggar hukum adminitrasi, karena data yang dilaporkan dalam rekam medis
pasien adalah fiktif dan tidak sesuai dengan kenyataannya, bersamaan dengan itu
juga tenaga perawatan dinilai telah lalai dari kewajibannya dalam menyediakan
rekam medis pasien.
BAB
III
PENUTUP
Beberapa hal dapat disimpulkan dari pembahasan di atas.
1.
Malpraktik dokter merupakan bentuk kelalaian dari dokter dalam melakukan tindakan
medik yang mengakibatkan rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan
kerugian lainnya.
2.
Dokter dapat
dipertanggungjawabkan terhadap kasus malpraktik
yang merugikan pasien karena perbuatan melawan hukum yaitu bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku, melawan hukum hak subyektif orang lain;
melawan kaidah kesusilaan, dan bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan
sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang.
3.
Pasien
sebagai pihak korban dari malpraktik dokter,
harus mendapat perlindunganhukum, sesuai dengan doktrin Res Ipsa Loquitur (keberpihakan kepada korban) dengan menuntut
ganti kerugian material dan immaterial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Etika
Kedokteran Indonesi. [online]. 2008. [cited 11 November 2011]. Available from: http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/
2. Kode
Etik Kedokteran. [online]. 2009. [cited 12 November 2013]. Availablefrom: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf
3. Williams
J. World Medical Association : Medical Ethics Manual 2nd Edition.
2009.
4. Rizaldy Pinzon. Strategi 4s untuk
pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia kedokteran 163:Vol 36;2009;208.
5.
Bagian
kedokteran forensik. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Hukum
perdata yang berkaitan dengan profesi dokter. FKUI. Jakarta:1994;51
6.
Budi
Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka
Dwipar, Oktober 2005
7. Penerangan informed consent dalam
pelayanan kesihatan [online]. 2009. [cited 11
November 2013].Available from: http://eprints.undip.ac.id/1133/1/A_1_Informed_Consent_Journal__RS.pdf
8.
Budiyanto
A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :BagianKedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.
9. Bawono, Bambang Tri.
2011. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Malpraktik Profesi
Medis. Jurnal Hukum Unissula
10. Danny Wiradharma. 1999. Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta, EGC.
11. Dr. Anny Isfanyarie Sp. An. SH, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam
Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka. Jakarta. hal. 31.
12. Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
13.
Hanafian,
Jusuf M & Amri Amir.2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi 4.
Jakarta. EGC.
14. Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh
RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001.
No comments:
Post a Comment
komunikasi
email: choirulalfa77@gmail.com