Apa yang anda butuhkan sobat

Saturday, March 16, 2019

CONTOH PENELITIAN MAL-PRAKTIK DIBIDANG MEDIS FULL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masalah malpraktik dalam pelayanan kesehatan pada akhir-akhir ini mulai ramai dibicarakan masyarakat dari berbagai golongan. Hal ini ditunjukkan banyaknya pengaduan kasus-kasus malpraktik yang diajukan masyarakat terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan pasien dalam melakukan perawatan. Sebenarnya dengan meningkatnya jumlah pengaduan ini membuktikan bahwa masyarakat mulai sadar akan haknya dalam usaha untuk melindungi dirinya sendiri dari tindakan pihak lain yang merugikannya. Dengan menggunakan jasa pengacara masyarakat mulai berani menuntut atau menggugat dokter yang diduga telah melakukan malpraktik.1
Bertitik tolak dari adanya perbedaan pendapat ini, tidak mengherankan jika banyak putusan profesi dokter yang menyatakan tidak ada malpraktik yang dilakukan dokter seringkali ditanggapi secara sinis oleh pengacara. Dari munculnya perbedaan pendapat ini yang seharusnya tidak perlu terjadi, perlu dicari solusi untuk menghilangkannya. Salah satu cara adalah dengan merumuskan bersama mengenai pengertian tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik tersebut.2
Perlu diperhatikan pula, bahwa dokter merupakan bagian dari masyarakat, karena dokter juga mengenal berbagai tanggungjawab terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat dimana dokter bertugas.
Berdasarkan pernyatan di atas, maka tulisan ini akan mengkaji tentang Malpraktik dokter, tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik medis dan perlindungan hukum korban malpraktik dokter.3





B.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1.      Untuk dapat menjelaskan dan memahami tentang Malpraktik dokter
2.      Untuk dapat mengetahui dan memahami apa faktor-faktor penyebab terjadinya malpraktikyang dihadapi dalam penyelesaian tindak pidana malpraktik yang dilakukan oleh dokter
3.      Untuk dapat mengetahui dan memahami kriteria penentuan terjadinya tindak pidana malpraktik yang dilakukan oleh dokter
4.      Melalui penulisan ini, manfaat penulisan yang dapat diambil dari makalah ini antara lain agar dapat memberi masukan dan ilmu pengetahuan khususnya mengenai tindak pidana malpraktik.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Malpraktik
            Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktik. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktik berasal dari “malpractice” yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.4
b.      Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktik berkaitan dengan “how to practice the medical science and technology”, yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”.5
c.       Menurut J. Guwandi merumuskan pengertian malpraktik medik tersebut, yakni: 6
a.       melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan; 
b.      Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
c.       Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d.      Danny Wiradharma memandang malpraktik dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk.7
e.       Amri Amir menjelaskan malpraktik medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.8
Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1.      John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai “a form of  professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner” (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter).9
2.      Black Law Dictionary merumuskan malpraktik sebagai “any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct…” (perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).10
Dari beberapa pengertian tentang malpraktik medik diatas semua sarjana sepakat untuk mengartikan malpraktik medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal dunia.
Akan tetapi menurut penulis, malpraktik medik tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari kalangan profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi di bidang pelayanan kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan.


B. Jenis-Jenis Malpraktik
            Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktik medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.11
-Malpraktik Etik
Yang dimaksud dengan malpraktik etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan.
-Malpraktik Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktik administratif (administrative malpractice).11
1). Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:11
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
2) Malpraktik Pidana
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktik pidana ada tiga bentuk yaitu:11
a.       Malpraktik pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.
b.      Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c.       Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.
3) Malpraktik Administratif
Malpraktik administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek.

C. Teori-Teori Malpraktik
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktik yaitu:9,11
a.       Teori Pelanggaran Kontrak Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bila mana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b.      Teori Perbuatan Yang Disengaja Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktik adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and battery)
c.       Teori Kelalaian Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktik ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata).
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktik. Teori-teori itu    adalah:10
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan malpraktik, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut.
b.      Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c.       Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktik adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktik.
d.      Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktik kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e.       Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktik, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama.
f.        Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktik hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum yang lain.
g.      Workmen’s Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktik keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktik yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut.Hal ini disebabkan menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien.
            Walaupun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya.

D. Pengaturan Malpraktik Dokter
Pada umumnya, apabila ada dugaan terjadi malpraktik yang dilakukan oleh dokter atau rumah sakit terhadap seorang pasien, dasar dari gugatan pasien terhadap dokter atau rumah sakit yaitu menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam prakteknya untuk menjerat seseorang itu telah melakukan kesalahan dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata seperti tersebut di atas, maka biasanya digunakan juga Pasal selanjutnya yaitu Pasal 1371 ayat 1 KUHP.
Banyaknya kasus malpraktik yang muncul ke permukaan biasanya hanya diselesaikan dengan solusi damai pada tingkat Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran (MKEK). Padahal yang dipertaruhkan tidak sekedar kompensasi, tetapi yang lebih penting lagi adalah kelangsungan hidup pasien.
E. Pengaturan Malpraktik Dokter dalam Bidang Hukum Perdata
Dokter yang melakukan praktik kedokteran adalah dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum dokter pasien. Yang dimaksud dengan hubungan hukum (rechtsbetrekking) adalah hubungan antardua subjek hukum atau lebih, atau antara subjek hukum dan objek hukum yang berlaku di bawah kekuasaan hukum, atau diatur/ada dalam hukum dan mempunyai akibat hukum. Jelasnya, hubungan hukum ada 3 kategori, yaitu: 13
a)      Hubungan hukum antar dua subjek hukum orang dengan subjek hukum orang, misalnya hubungan hukum dokter-pasien
b)      Hubungan hukum antara subjek hukum orang dengan subjek hukum badan, misalnya antara pasien dengan rumah sakit; dan
c)      Hubungan hukum antara subjek hukum orang maupun badan dengan objek hukum benda berupa hak kebendaan.
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) dalam transaksi terapeutik, baik oleh dokter maupun tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onreghmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Ingkar janji atau wanprestasi ini diatur dalam Pasal 1234, Pasal 1239, Pasal 1243 dan Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, disebutkan bahwa: “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” 
Kemudian Pasal 1239 KUHPerdata mengatur pula mengenai akibat hukum bagi pihak yang tidak melaksanakan isi dari perikatan yang terjadi. Hal ini sebagaimana ditegaskan bahwa:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”



F. Tanggungjawab Dokter Dalam Kasus MalpraktikMedis (Medical Malpractice)
Banyak persoalan malpraktik atas kesadaran hukum msyarakat diangkat menjadi masalah perdata. Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dalam perkembangannya diperluas menjadi 4 (empat) kriteria. 14
-          Pertama, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; atau
-          kedua, melawan hukum hak subjektif orang lain; atau
-          ketiga, melawan kaidah tata susila; atau
-          keempat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Masalah tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik medik, ada relevansi dengan perbuatan melanggar hukum Pasal 1366 dan 1364 KUHP, yaitu:16
-          pertama pasien harus mengalami suatu kerugian
-          kedua, ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga dapat bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya)
-          ketiga, ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan; dan
-          keempat, perbuatan itu melanggar hukum.
Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul hal adanya keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi.17
Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam melakukan observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan bersama. Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang masuk di dalam kategori tindakan melawan hukum hukum, sehingga menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh pasien.17
G. Perlindungan Hukum Korban Malpraktik Dokter
Doktrin adalah pendapat para ahli hukum dan landasan penggunaan doktrin yaitu asas hukum yang mengedepankan communis opinio doctorum atau seseorang tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin yang berlaku di dalam ilmu kesehatan yaitu Res Ipsa Loquitur artinya doktrin yang memihak pada korban. Pembuktian dalam hukum acara perdata yang menentukan bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut, cukup menunjukkan faktanya. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan.

H. Kode Etik Kedokteran


KEWAJIBAN UMUM
·         Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
·         Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
·         Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
·         Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.




·         Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
·         Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
·         Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
·         Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
·         Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
·         Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
·         Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
·         Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
·         Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati1 13.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
·         Pasal 10
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
·         Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
·         Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
·         Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
·         Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
·         Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
·         Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
·         Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. 12

I. HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
Hubungan dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada etika kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus meletakkan kesehatan pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis Internasional pula menyatakan bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan terbaik sesuai sarana yang tersedia atas kepercayaan yang telah diberikan pasien kepadanya. Prinsip utama moral profesi adalah autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula adalah veracity (memberikan keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan).
Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini dikatakan mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori social contract dengan dokter dan pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai dalam membuat keputusan. Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan pasien memegang kendali keputusan penting terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien.
Hubungan dokter-pasien yang baik memerlukan kepercayaan. Maka, dengan memegang pada dasar kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya, seorang dokter tidak boleh menjalin hubungan di luar bidang profesinya dengan pasien yang sedang dirawat 12.

MENGHORMATI DAN PELAYANAN SAMA RATA
Isu hak sama rata merupakan suatu hal yang rumit buat dokter. Menurut Deklarasi Geneva, dokter tidak boleh mendiskriminasi pasien baik secara umur, penyakit, ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, orientasi seksual, maupun status social. Tetapi pada masa yang sama dokter juga dibenarkan untuk menolak pasien yang datang kepadanya kecuali pada kasus gawat darurat dengan alasan kurang kemahiran dan penyakit pasien bukan di dalam bidang kompetensi nya.
Dokter juga harus menyadari bahwa perilaku terhadap pasien turut berpengaruh dalam hubungan dokter-pasien untuk mewujudkan kepercayaan dalam diri pasien kepada dokternya. Dokter juga tidak boleh meninggalkan pasien di bawah jagaannya sehingga Kode Etika Medis Internasional dari World Medical Association(WMA) menyatakan bahwa dokter hanya boleh “meninggalkan” pasiennya dengan cara merujuk pasien ke dokter lain apabila tindakan lanjut yang diperlukan adalah di luar bidang kompetensinya.
Selain itu, dokter juga tidak dibenarkan untuk menolak pelayanan kesehatan terhadap pasien dengan HIV/AIDS. Ini karena menurut WMA, pasien dengan HIV/AIDS harus diperlakukan seperti pasien lain dan dokter hanya boleh melepaskan tanggungjawabnya melalui rujukan ke dokter lain yang lebih kompeten12.




KOMUNIKASI DAN CONSENT
Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada masa kini. Informed consent  yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter dan pasien. Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan penyakit. Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.
Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak tindakan medik yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain. Pasien yang kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini dapat mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent dikecualikan yaitu:
1.      Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang merawatnya, dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal dilakukan.
2.      Keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak besar terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah apabila pasien cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang penyakitnya. Namun, dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat menerima berita tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya sesuai dengan hak pasien. 13
INFORMED CONSENT UNTUK PASIEN INKOMPETEN
Pasien inkompeten adalah mereka yang tidak mampu membuat keputusan untuk diri mereka sendiri seperti anak, individu dengan gangguan psikologi atau neurologi berat dan pasien yang tidak sadar. Mengikut WMA Declaration on the Rights of the Patients, apabila pasien tidak mampu membuat keputusan untuk dirinya sendiri, perlulah mendapat kebenaran dari wakilnya. Apabila tidak dapat ditemukan wakil dan pasien memerlukan tindak medis segera, dokter perlulah memikirkan bahwa pasien sudah bersetuju dengan tindakan yang bakal dilakukan melainkan telah tercatat bahwa pasien tidak bersetuju dengan tindakan tersebut sebelumnya.
Apabila pasien adalah anak, hak diberikan kepada mereka yang bertanggungjawab terhadapnya. Namun, pasien harus ikut serta dalam pembuatan keputusan dan memahami tindakan yang bakal dilakukan.13

KERAHASIAAN PASIEN
Dasar dari kerahasiaan pasien adalah autonomy, rasa hormat dan kepercayaan pasien. Kepercayaan adalah bagian paling penting dalam hubungan dokter-pasien sehingga seorang dokter tidak dibenarkan untuk membuka rahasia pasien tanpa kebenaran dari pasien itu sendiri kecuali diminta oleh hukum. Dokter juga dibenarkan untuk membuka rahasia pasien apabila pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan sendiri.
Dalam keadaan di mana pasien dapat menimbulkan bahaya kepada orang sekitarnya, dokter dapatlah memberitahu mereka yang mungkin beresiko terhadap penyakit pasien tersebut. Contohnya adalah memberitahu pasangan pasien dengan HIV/AIDS tentang penyakitnya apabila pasien enggan untuk melakukan seks dengan perlindungan 12.
HUBUNGAN DOKTER-TEMAN SEJAWAT
Profesi kedokteran merupakan profesi yang berjalan di bawah satu sistem hirarki baik secara internal maupun eksternal. Hirarki internal dapat dibagi kepada tiga yaitu perbedaan kedudukan dokter berdasarkan kepakaran, perbedaan berdasarkan pencapaian akademik, dan perbedaan kompetensi dan pengalaman dalam menangani pasien. Secara eksternal pula, dokter sering diletakkan di bagian tertinggi dibanding petugas kesehatan lain .
Dalam perkembangan ilmu kedokteran, seorang dokter harus menyadari bahwa dia tidak mampu menangani semua penyakit dan memerlukan kerjasama baik antara tenaga kesehatan lain seperti perawat, pharmacist, ahli fisioterapi, teknisi laboratorium, dan lain-lain.13
HUBUNGAN TEMAN SEJAWAT
Hubungan antara dokter dan teman sejawat dinyatakan dalam Declaration of Geneva yang menyatakan hubungan antara petugas kesehatan adalah seperti saudara. Menurut Kode Etik Medik Internasional pula, terdapat dua larangan dalam hubungan sesama dokter yaitu:
1.      Membayar atau menerima bayaran dari dokter lain dalam menangani pasien
2.      Mengambil alih tugas perawatan pasien dari dokter lain tanpa rujukan dokter tersebut.
Sering dalam praktek sehari-hari, akan timbul perbedaan pendapat antara dokter tentang penanganan yang tepat untuk seorang pasien. Dengan menganggap isu yang timbul hanya untuk kebaikan pasien dan tidak ada penyimpangan dari etika kedokteran, hal ini dapat diselesaikan dengan cara:
1.      Dilakukan secara informal yaitu melalui rundingan dan perbincangan antara pihak yang terlibat. Perbincangan hanya akan dilakukan secara formal apabila cara informal tidak member hasil.
2.      Opini semua pihak yang terlibat perlu didengarkan dan dipertimbangkan.
3.      Pasien berhak menentukan tindakan medis untuk dirinya dan pilihan pasien ini akan menjadi penunjang utama dalam pengambilan keputusan isu terkait.
4.      Apabila semua rundingan tidak disepakati, maka penyelesaian isu dapat melibatkan pihak wewenang dan hukum.11


HUBUNGAN GURU DAN MAHASISWA KEDOKTERAN
Hubungan antara tenaga pengajar dan mahasiswa kedokteran juga penting dalam etika kedokteran. Mahasiswa kedokteran harus menghormati dan memanfaatkan ilumu yang diperoleh sebaiknya. Tenaga pengajar fakultas kedokteran juga harus menghormati mahasiswa dan membimbing mahasiswa sebaiknya sesuai etika profesi kedokteran 13.

PELAPORAN MALPRAKTEK
Kewajiban melaporkan malpraktek dan praktek tidak kompeten dinyatakan dalam Kode Etik Medis Internasional yaitu “A physician shall report to the appropriate authorities those physicians who practice unethically or incompetently or who engage in fraud or deception”. Dokter sering kali sulit untuk membuat pelaporan tentang tindakan malpraktek dokter lain atas dasar simpati atau persahabatan tetapi perlu diingatkan bahwa pelaporan adalah salah satu tugas professional seorang dokter 10.
Namun, tindakan pelaporan ke pihak wewenang harus menjadi pilihan terakhir apabila metode lain seperti menegur dan memberi peringatan kepada dokter yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan tindakan malprakteknya.

HUBUNGAN DOKTER DAN TENAGA PELAYANAN KESEHATAN LAIN
Dokter seharusnya mempunyai hubungan non diskriminasi dan saling hormat-menghormati sesama tenaga pelayanan kesehatan lain. Perlu diingatkan bahwa semua tenaga pelayanan kesehatan, walaupun berbeda dari tingkat pendidikan, berpegang pada prinsip yang sama yaitu memberikan pelayanan terbaik untuk kesehatan pasien 13.
HAK PASIEN
WMA telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991) yang menyatakan hak pasien adalah sebagai berikut3:
1.      Hak memilih dokter secara bebas
2.      Hak klinis dan etis
3.      Hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat
4.      Hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya
5.      Hak untuk mati secara bermartabat
6.      Hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU Kesehatan pula menyebutkan beberapa hak pasien yaitu:
1.      Hak atas informasi
2.      Hak atas second opinion
3.      Hak untuk memberi persetujuan atau menolak suatu tindakan medis
4.      Hak untuk kerahasiaan
5.      Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan
6.      Hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.
Selain itu, UU Praktik Kedokteran menyatakan hak pasien sebagai berikut:
1.      Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis (Pasal 45 ayat (3)). Penjelasan sekurang-kurangnya meliputi diagnosis, tatacara tindakan, tujuan tindakan medis yang bakal dilakukan, alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
2.      Hak untuk memeinta pendapat dokter lain
3.      Hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis
4.      Hak untuk menolak tindakan medis
5.      Hak untuk mendapatkan isi rekam medis 14
Contoh Kasus Malpraktek dan Analisanya

1.      Kasus 1
Liputan6.com, Jakarta : Mencuatnya kasus dipidanakannya dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Dewa Ayu Sasiary Prawani dalam kasus malapraktik terhadap korban Julia Fransiska Makatey (25), masih belum menemukan titik terang.
Untuk mengetahui lebih jelas kronologi kasusnya, berikut ulasan yang diuraikan Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Dr Nurdadi Saleh, SpOG beberapa waktu lalu:
·         10 April 2010
Korban, Julia Fransiska Makatey (25) merupakan wanita yang sedang hamil anak keduanya. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah dalam tahap persalinan pembukaan dua. Namun setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan operasi caesar darurat. "Saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar," ujarnya. Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu adalah tanda bahwa pasien kurang oksigen.  "Tapi setelah itu bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia," ungkap Nurdadi, seperti ditulis Senin (18/11/2013).
·         15 September 2011
Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni.  "Dari hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli udara, sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak diketahui oleh dokter. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada bilik kanan jantung pasien. Dengan bukti ini PN Manado memutuskan bebas murni," tutur dr Nurdadi. JPU menyatakan ada beberapa hal yang perlu dikaji kembali terkait keputusan bebas murni yang dikeluarkan oleh PN Manado. Di antaranya keberatan mengenai kelalaian yang dilakukan terdakwa; tidak adanya informed consent; dan tidak dilakukannya prosedur pemeriksaan jantung sebelum tindakan operasi. Tapi ternyata kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.
·         18 September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).
·         11 Februari 2013
Keberatan atas keputusan tersebut, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan PN Manado menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan kalau ketiga dokter tidak bersalah melakukan tindak pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam melakukan operasi pada pasien.
·         8 November 2013
Dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38), satu diantara terpidana kasus malapraktik akhirnya diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan penjara. Ia diciduk di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) oleh tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejari Manado sekitar pukul 11.04 Wita. Sementara kedua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian masih dicari. Menurut keterangan Nurdadi, kedua dokter tersebut sedang melakukan pelatihan.



Analisa kasus
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
·         Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
·         Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
·         Suatu tindakan harus segera diambil untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUHP Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”.
Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

Kesimpulan    
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.

2.      Kasus 2
DETIKNEWS.COM Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi jaksa atas kasus malpraktik dengan terdakwa dr Wida Parama Astiti. MA memutuskan dr Wida telah melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun meninggal dunia dan dijatuhi 10 bulan penjara.
Seperti dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA), Jumat (22/3/2013), kasus tersebut bermula saat dr Wida menerima pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang diantar orang tuanya karena mengalami diare dan kembung dan dr Deva langsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan infuse, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap.
Keesokan harinya, dr Wida mengambil tindakan medis dengan meminta kepada perawat untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr Wida berada di lantai 1 dan tidak melakukan pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan Deva kejang-kejang. Akibat hal ini, Deva pun meninggal dunia.
"Berdasarkan keterangan ahli, seharusnya penyuntikan KCL dapat dilakukan dengan cara mencampurkan ke dalam infuse sehingga cairan KCL dapat masuk ke dalam tubuh penderita dengan cara masuk secara pelan-pelan," demikian papar dakwaan jaksa.
Lantas, dr Wida diproses secara hukum dan pada 1 Juni 2011 Kejaksaan Negeri Sidoarjo menuntut dr Wida dijatuhkan hukuman 18 bulan penjara karena melanggar Pasal 359 KUHP. Tuntutan ini dipenuhi majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo pada 19 Juli 2011. Namun terkait lamanya hukuman, majelis hakim memutuskan dr Wida harus mendekam 10 bulan karena menyebabkan matinya orang yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjannya.
Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada 7 November 2011. Namun jaksa tidak puas dan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Putusan Pengadilan Tinggi sangat ringan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan tidak membuat jera pelaku atau orang lain yang akan melakukan perbuatan yang sama," demikian alasan kasasi jaksa. Namun, MA berkata lain.
"Menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidoarjo," demikian putus MA yang diketok olah majelis hakim Dr Artidjo Alkostar, Dr Sofyan Sitompul dan Dr Dudu D Machmuddin pada 28 September 2012 lalu.

Analisa Kasus
Pasal 359 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”
Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini.
·         Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.
·         Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an  identical situation”. 
·         Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
·         Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.

3.      Kasus 3
Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di RS Internasional Omni atas keluhan demam, sakit kepala, mual disertai muntah, kesulitan BAB, sakit tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter rumah sakit, dr.Hengky Gosal SpPD dan dr.Grace Herza Yarlen Nela, Prita didiagnosis menderita demam berdarah, atau tifus. Setelah dirawat selama empat hari disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan, gejala awal yang dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan pembengkakan pada leher.Selama masa perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan, disamping kondisi kesehatan yang semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil laboratorium awal menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa. Disebabkan karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam medis serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit Prita kemudian menulis email tentang tanggapan serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis.Email tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Saat dirawat Prita Mulyasari tidak mendapat kesembuhan, sebaliknya penyakitnya menjadi lebih parah dengan beberapa keluhan tambahan yakni pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya. Lanjutnya Ibu Prita menemui kejanggalan pada keterangan medisnya, dimana trombositnya yang semula 27.000 pada diagnosis pertama menderita demam berdarah, kemudian secara terpisah dokter menginformasikan adanya “revisi” dimana trombosit Ibu Prita menjadi 181.000 dengan diagnosis virus udara dan gondongan.
Keterangan medis tersebut antara lain, penjelasan medis tentang diagnosis Ibu Prita yang menderita demam berdarah hingga perubahan diagnosis menderita gondongan dan virus udara menular, harus dirawat dan dinfus serta diresepkan obat dengan dosis tinggi. Konsekuensinya, Ibu Prita mengalami pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya seperti lengan, leher, dan mata. Hal ini selaras seperti yang dikeluhkan beliau:
Keluhan: laporan lab yang “direvisi” dengan trombosit 27.000 menjadi 181.000
“…Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien…”


Keluhan: pembengkakan beberapa bagian tubuh dan sesak napas
“..Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi.  Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri…”

Analisa Kasus
Melihat kasus tersebut, dapat ditemukan sebuah contoh malpraktik administrasi berupa pelanggaran dalam rekam medis. Dalam PERMENKES No. 749a/Menkes/XII/89 tentang RM disebutkan pengertian RM adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 14 Permenkes no. 749a/1989 tentang tujuan dan fungsi rekam medis yaitu sebagai dasar pelayanan kesehatan dan pengobatan, pembuktian hukum, penelitian dan pendidikan, dasar pembiayaan pelayanan kesehatan, dan statistic kesehatan. Maka rekam medis harus dibuat relevan, kronologis dan orisinil. Data yang diberikan haruslah berupa data yang sebenarnya dan bukan karangan semata.

Dalam kasus di atas telah terjadi pemalsuan data tentang kondisi pasien sesuai dengan pengakuan dari pasien atau si penderita yang menyebutkan bahwa “Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.” hal ini dinilai telah melanggar hukum adminitrasi, karena data yang dilaporkan dalam rekam medis pasien adalah fiktif dan tidak sesuai dengan kenyataannya, bersamaan dengan itu juga tenaga perawatan dinilai telah lalai dari kewajibannya dalam menyediakan rekam medis pasien.




BAB III
PENUTUP

Beberapa hal dapat disimpulkan dari pembahasan di atas.
1.      Malpraktik dokter merupakan bentuk kelalaian dari dokter dalam melakukan tindakan medik yang mengakibatkan rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya.
2.      Dokter dapat dipertanggungjawabkan terhadap kasus malpraktik yang merugikan pasien karena perbuatan melawan hukum yaitu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melawan hukum hak subyektif orang lain; melawan kaidah kesusilaan, dan bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang.
3.      Pasien sebagai pihak korban dari malpraktik dokter, harus mendapat perlindunganhukum, sesuai dengan doktrin Res Ipsa Loquitur (keberpihakan kepada korban) dengan menuntut ganti kerugian material dan immaterial.









DAFTAR PUSTAKA
1.      Etika Kedokteran Indonesi. [online]. 2008. [cited 11 November 2011]. Available from: http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/
2.      Kode Etik Kedokteran. [online]. 2009. [cited 12 November 2013]. Availablefrom: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf
3.      Williams J. World Medical Association : Medical Ethics Manual 2nd Edition. 2009.
4.      Rizaldy Pinzon. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia kedokteran 163:Vol 36;2009;208.
5.      Bagian kedokteran forensik. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Hukum perdata yang berkaitan dengan profesi dokter. FKUI. Jakarta:1994;51
6.      Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
7.      Penerangan informed consent dalam pelayanan kesihatan [online]. 2009. [cited 11 November  2013].Available from: http://eprints.undip.ac.id/1133/1/A_1_Informed_Consent_Journal__RS.pdf
8.      Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :BagianKedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.
9.      Bawono, Bambang Tri. 2011. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Malpraktik Profesi Medis. Jurnal Hukum Unissula
10.  Danny Wiradharma. 1999. Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta, EGC.
11.  Dr. Anny Isfanyarie Sp. An. SH, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka. Jakarta. hal. 31.
12.  Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 
13.  Hanafian, Jusuf M & Amri Amir.2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi 4. Jakarta. EGC.

14.  Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001.

No comments:

Post a Comment

komunikasi
email: choirulalfa77@gmail.com

MAKALAH AKUNTANSI KEPERILAKUAN. Yuk kepoin

COVER MAKALAH AKUNTANSI KEPERILAKUAN PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEMARANG 2019 KATA...

Choirulalfa.blogspot.com